Kamis, 17 September 2015

MAK CIK MARYAMAH

Pagi pagi sekali, makcik maryamah sudah pergi ke kebun karet untuk menoreh getah . Bukannya apa, sudah beberapa hari si bungsu merengek minta dibelikan sepatu baru. Itu adalah suatu ketika di musim penghujan sekitar 20 tahun yang lalu.
Si bungsu pagi itu bersumpah tak akan pergi sekolah kalau sepatu baru tak juga dibelikan. Bukannya apa, teman-temannya baru saja dapat sepatu bantuan pemerintah. Sialnya tak semua dapat, dan si bungsu salah satu yang tidak beruntung.
Berkali-kali Mak cik maryamah meminta si bungsu bersabar. Musim penghujan bukan waktu yang baik untuk menoreh getah. Tapi si bungsu tetap tak mau berhenti merengek. Seharian si bungsu guling-gulingan di teras rumah, tidak mau makan.
Padahal sebelum-sebelumnya si Bungsu itu tak pernah mengeluh. Sepatu putih yang dipakainya sejak lama memang sudah tak putih lagi. Bila sudah demikian biasanya ia mengumpulkan kapur sisa dari sekolah. Di tengah hari yang panas ia akan sibuk mengoleskan serbuk kapur ke sepatunya agar terlihat lebih putih.
Selain sebab sepatu teman-temannya yang baru ternyata ada lagi penyebab utama si bungsu ini merengek. Kelas lima, itulah kelasnya si Nurlela, anak kepala sekolah. Rambutnya panjang matanya berkilauan. Ada lesung pipit menghias kedua pipinya. Gadis yang ditaksir si bungsu diam-diam. Si bungsu yang sudah kelas enam sering pura-pura punya urusan di kelas lima. Diam diam curi curi pandang.


terkadang bagi bocah yang tengah jatuh cinta, memperbaiki penampilan diri adalah cara menarik perhatian paling manjur. Urusan rambut yang berantakan si bungsu bisa mengakali dengan minyak goreng yang diam diam diambil dari dapur mak cik maryamah. Urusan pakaian ia akali dengan rajin menyetrika. Malam-malam seusai mengejakan PR ia akan betah berlama lama menyetrika dengan setrika arang yang luar biasa beratnya. Tak apa, demi cinta.
Tapi urusan sepatu sungguh memprihatinkan. Sudah tak bisa diakali. Makanya si bungsu yang sudah kelas enam itu ulahnya seperti anak kelas satu saja.
Pagi pagi sekali mak cik Maryamah sudah berada di kebun karet. Hujan turun dengan rintik. Suasana yang menyenangkan untuk tidur. Sejak suaminya menghilang entah kemana, segala beban keluarga harus ditanggungnya sendiri. Si Sulung yang kerja di negeri tetangga tak pulang-pulang. Sedang si tengah yang biang onar lagi dipenjara gara-gara maling ayam. Tinggal si bungsu lah yang menemai hari-harinya.
......
Hamidun memandangi Ijazahnya, menetesekan air mata. Seandainya 20 tahun lalu ia tak merengek minta sepatu baru, tentu ibunya saat ini tengah memeluknya dengan bahagia. Hamidun sudah sarjana. ibunya, Mak Cik Maryamah itu, mungkin tengah tersenyum dari surga. Mak cik Maryamah, wanita tua yang 20 tahun lalu ditemukan meninggal di kebun karet dengan bekas gigitan ular di kakinya.
_______
Ide awalnya adalah makcik pergi noreh getah, lalu cerita mengalit begitu saja

0 Komendang: