Minggu, 27 September 2015

Pria Yang Menikahi Kesepian


di suatu waktu, aku bertemu seorang pria tua yang menghabiskwan sisa umur di gubuk reot di tepi kota. rambutnya sudah rontok, giginya tinggal seadanya.
saat aku bertamu ke rumahnya, aku melihat ia menggengam cangkir kopi yak tak lagi ada isinya. di depannya, sebuah buu catatan tebal tengah terbuka, dan di sampingnya tergeletak pena dari bulu angsa.
pria tua itu, pria yang puluhan lalu namanya dipuja-puji di seluruh kota. seorang penyair jenius yang semua sairnya mampu membuat derai air mata. derai haru derai duka.
aku duduk di sampingnya, melihat jarinya yang keriput mengetuk-ngetuk meja. kupikir ia sedang akan membuat sajak.
"sudah 10 tahun aku tak lagi menulis sajak, sajakku sudah mati, dikubur di dalam sunyi" ujarnya pelan, seolah membaca pikiranku barusan.
aku tak habis pikir kenapa ia memilih sendiri hingga renta. padahal puluhan tahun yang lalu, jikalau dia hendak malamar gadis maka tinggal tunjuk saja. niscaya sang gadis akan ikhlas menjadi istrinya.
"Semua wanita itu makannya nasi, bukan puisi" ujarnya lagi. Apakah ia benar-benar membaca pikiranku? entahlah. Ya, aku tahu hidup menjadi penyair tak ada duitnya. orang-orang gemar menikmati tapi enggan memberi. ia hanya pengamen sajak, membacakan sajak dari sisi jalan yang satu ke jalan yang lain. dari teras kafe yang satu ke teras yang lain. kadangkala ia mentas di panggung balai kota, tapi bayarannya hanya akan tahan untuk satu bulan saja. Ah tapi bukankah bila sudah cinta segala kesulitan tak akan begitu pahit? kenapa dia begitu betah sendiri?.
"Aku tak pernah sendiri anak muda. Aku telah menikahi kesunyian, kesunyian tak mengkhianati, tak akan pergi sebelum aku pergi". Sialan dia membaca pikiranku lagi. Aku menuangkan kopi dingin dari teko ke gelasnya. Satu sesapan, cangkir itu kosong lagi.
27-09-20115

0 Komendang: