Rabu, 16 September 2015

Si Alan

"Sialan!!" Serunya sambil meremas kertas di tangannya. Ini sudah ketiga kalinya ia gagal di tes yang sama. Dua tiga hari sebelum tes, bapaknya yang mantan sekretaris kelurahan itu sudah mewanti-mewanti agar ia giat belajar. Tapi dasar ia yang pemalas, ia malah menghabiskan beberapa hari terakhir dengan bermain layangan bersama anak-anak SD di gangnya.
Perang besar akan meledak di rumahnya. Sudah dua tahun ia luntang lantung. Setelah dua kali gagal masuk perguruan tinggi negeri, bapaknya tetap tak mengizinkannya masuk perguruan tinggi swasta. Maka resmilah ini adalah kegagalannya yang ketigakali.
"Perguruan Tinggi Negeri, atau tidak sama sekali" begitu ancam bapaknya pada suatu sore saat ia meminta bapaknya mengizinkan ia masuk perguruan negeri swasta saja. Ia hanya menundukkan kepala, memandang asbak berisi puntung rokok sisa bapaknya.
ini semua salah bapaknya, saat ia lulus SMA, bapaknya pamer kemana mana bahwa anaknya dapat nilai Ujian terbaik di sekolahnya. Nilainya nyaris rata-rata sembilan. Bapaknya yang masih senang mengenakan seragam dinas mesti tak lagi menjabat itu berbuih-buih mulutnya ketika bercerita tentang anaknya yang pasti akan lulus masuk perguruan tinggi negeri.
Yang bapaknya tidak tahu, anaknya yang ia bangga-banggakan itu tak lebih dari tukang bikin onar di sekokah. Dan nilai-nilai itu, adalah hasil kongkalikong dengan teman-temannya yang anak anggota dewan, membeli soal lengkap dengan jawabannya. Maka walau ijazahnya delapan koma, otaknya empat koma saja belum tentu.


Maka ia yakin, bagi bapaknya, kertas di tangannya itu hanya akan mencoreng muka keluarga.
"Kalau kamu tidak lulus lagi, bapak akan coret kamu dari kartu keluarga" ancam bapaknya kemarin sambil mencekoki ayam jagonya dengan obat kuat.
Maka terbayang di kepalanya kalau itu benar terjadi. Ini semua salah si ocoy yang suka mengajaknya bolos sekolah, begitu pikirnya. Ini juga salah si plentok yang gemar mengajaknya mencari ikan cupang di selokan saat jam istirahat. Ini juga salah si Marlina, gadis yang bikin dia klepek-klepek dan jadi tak fokus belajar waktu SMA.
Si Ocoy sekarang sudah naik mobil kemana-mana, hadiah bapaknya yang anggota dewan tingkat dua. Si Pletok sudah buka bengkel dimodali bapaknya, padahal membedakan rantai motor dan rantai sepeda saja si Pletok tidak bisa. Terus si Marlina, sudah 3 kali menjanda, sering cerai karena ketahuan main gila.
"Sialan!!" Serunya sekali lagi, menyandarkan tubuhnya ke tiang beton di depan kampus impian bapaknya. Sungguh penyesalan selalu datang terlambat, karena yang datang cepat biasanya petugas piket.
_________
Cerita ini saya tulis mengalir begitu saja, kalimat demi kalimat. Ide pertama yang saya pakai memulai hanya kata "sialan"

0 Komendang: