Minggu, 21 April 2013

SEPOTONG CINTA DARI JOGJA





Jogjakarta, kota istimewa dengan kamu yang istimewa.

“Bolehkah aku menjadi bintang di hatimu?”. Kamu mengangguk. Ini malam yang menyenangkan di bukit bintang. Cahaya bertaburan di langit dan di bumi, ribuan bintang memamerkan cahaya bersaing dengan lampu jalanan jogja yang kemilauan.

Seminggu lalu kita berjumpa di Malioboro yang panas. Kamu adalah seorang gadis yang belanjaanya terjatuh dan aku adalah orang yang membantu membereskannya. Seperti di FTV saja, tangan kita bersentuhan lalu saling berpandangan. Aku tersenyum dan kamu tersenyum. 

“Aku Giar,”. “Aku Asa”. Dari sanalah semua bermula, lalu kita berjalan bersama menyusuri trotoar di bawah matahari kota jogja.

Dua hari kemudian kita berjanji untuk bertemu di Vito Cafe. Saat aku datang kamu telah menungguku disana.

“Aku telat ya?,” Tanyaku kemudian duduk di kursi kosong di depanmu. Kamu mengenakan gaun merah dan aku dengan kemeja hitamku, matching dengan warna hitam dan merah yang mendominasi Vito Cafe.

“Tidak, akunya aja yang datang kecepetan. Mungkin terlalu bersemangat ingin bertemu kamu,”. Kalimat ini bahkan sudah cukup mampu membuat aku ingi meloncat kegirangan. 

“Ah kamu bisa saja, kelihatan sekali gombalnya. Padahal kita baru kenalan lo,”. Ujarku seolah-olah aku tidak terkejut dengan kalimat yang kamu ucapkan tadi.

“Memangnya cinta kenal waktu?,” kamu menyerang jantungku sekali lagi. Jantungku berdegub kencang. Seorang pelayan datang dengan secangkir Hot Chocolate dan secangkir Vito Cofe Ice.

Rabu, 03 April 2013

AKU DAN WANITA YANG MENJUAL KENANGAN

 
Ini Pontianak kotaku yang panas, tapi sekarang sering hujan. 

Hujan tak jarang  membuat genangan dimana-mana, namun lebih sering lagi ia mencipta kenangan. ia serupa layar tancap raksasa yang memutar satu persatu masa lalu. Hujan menciptakan basah namun tak jarang mencipta resah. Banyak puisi  tentang hujan, sedangkah hujan itu sendiri adalah puisi.

Hujan adalah puisi yang bergerak, kadangpula mencipta lagu dengan iringan instrumen langkah kaki dan deru sepeda motor yang mencari keteduhan.

Sore ini, hujan turun rintik saja. Tak ada nyanyian, hanya bisik-bisik manja. Sebuah buku di tanganku, sama seperti hujan ia adalah kekuatan magis yang melahirkan rindu. Rindu masa lalu.

Wanita penjual kenangan

Penjual kenangan bukan hanya sekumpulan aksara, lebih dari itu ia tulisan yang bernyawa. 

Aku pernah membaca buku buku berisi aksara mati, dimakamkan begitu saja dalam berbaris-baris pragraf tak bermakna. Tapi Penjual Kenangan jels berbeda, ia hidup sebagaimana kenangan terus hidup dalam hati dan pikiran kita.