Sabtu, 15 November 2014

4 TIPS MENJALANI LDR


heiho!
Kampret, barusan gue buka dshaboard blog gue udah ampe lumutan sob. gue liat tadi ada gembel numpang boker. kan langsyat!

jadi malam ini gue paksa-paksain deh buat posting.

Di Posting kali ini gue mau bahas Tips-tips buat lo yang ngejalani LDR, alias Lintas Djarak Relationship.

1. Komunikasi Itu Penting

Komunikasi itu penting, tapi jangan lebai. Gak perlu tiap saat laporan, sempatin aja minimal satu hari sekali. Komunikasi bisa pakai apa aja, chat, telepon, sms, atau pakai prasasti yang dihanyutin di sungai.

2. Hindari Prasangka

banyak hubungan LDR yang gagal karena salah satu atau keduanya sering berprasangka. Menerka-nerka sesuatu yang gak terjadi itu bikin lo terus-terusan gak tenang. Misalkan pacar tidak memberi kabar seharian, biasanya kita akan berpresepsi yang bukan-bukan. padahal bisa jadi doi lagi ditugasin bosnya mencari kitab suci ke barat terus hapenya ketinggalan,

3. Saling Berbagi

Untuk memperkuat rasa saling percaya, penting sekali bagi pasangan LDR untuk saling berbagi. Ceritain hal-hal seru yang lu lalui. kalau ada masalah juga ceritain. Misalnya lu tadi boker lupa buka tutup klosetnya. udah boker baru nyadar belum dibuka. ceritain!.

4. Saling mengerti

Pahamilah pasangan loe, kenapa  doi marah, apa yang harus dilakukan jika doi sedang dalam kondisi badmood. Jangan sampai karena lo gak bisa ngertiin doi, doi malah cari pelarian. Apalagi kalau pacar lo Cinta, bisa bisa doi lari ke pantai, lari ke hutan, atau malah mecahin gelas. Kan mecahin berarti membeli.

Eh ya udah gitu aja tulisan gak penting ini.



Senin, 08 September 2014

Bandara Saksi Mata


Banyak sudah air mata yang jatuh di bandara
Ada ibu yang menangisi kepergian anaknya
Ada istri yang melepas sang suami dengan derai air mata
Maka bandara menjadi saksi pilu demi pilu perpisahan

Di bandara pula gelak tawa pecah dari mereka yang bersuka ria
Sang ibu yang menyambut anaknya yang baru saja sarjana
Sang istri yang menyambut suaminya pulang dari perjalanan kerja
Serta anak-anak yang tak sabar minta oleh-oleh segera dibuka

Lihatlah! Pertemuan dan perpisahan tak berjarak di bandara. Tangis pedih, tangis rindu, tangis haru, semua di sini.

Dan bandara tetap bisu, rintik hujan yang turun, meleburkan kisah2 itu satu demi satu.

Gubuk Di Tepi Pantai


Dari jendela yang reot itu
Ia melihat ombak, melihat lambai kelapa memanggil angin, memanggil hujan
Dari jendela yang reot itu ia menunggu matahari pagi terbit dari kaki2 pulau yang berbaris di seberang
Ia tak lagi muda, raganya yang renta, terbujur diam di atas ranjang yang turut menua
Hanya matanya,hanya matanya memberi isyarat
Betapa kesepian telah membunuh sekian banyak waktunya
Dipandangnya figura tak berkaca yang tergantung miring di dinding kamarnya
"Pulanglah nak" bisiknya lirih.
Mendadak sunyi, desir angin melingkupi sepi

Ia pergi, dan anaknya pulang dengan derai air mata

Sepuluh Tahun


sepuluh tahun yang lalu, ia meninggalkan kampung halaman, berjanji tak akan pulang sebelum menang
sepuluh tahun yang lalu, ibunya menangis, menghantar ia di depan pintu bandara, air matanya, menjelma butir hujan yang jatuh di sepanjang sungai kapuas

sepuluh tahun lamanya ia pergi dan ibunya menunggu di rumah sambil menjahitkan kemeja untuk dipakai anak satu-satunya di perantauan ketika nanti pulang

sepuluh tahun berlalu dan tak juga ia muncul untuk memeluk, membawa pulang kemenangan seperti yang ia janjikan.

sepuluh tahun telah memakan usia ibunya, menjadi tua renta yang kesepian
sepuluh tahun sudah, telah pupus harapan, ia pulang namun tak mampu lagi memeluk dan mencium
ia pulang, ia pulang.

ketika gundukan tanah basah itu ditinggalkan, air mata ibunya yang dulu turun lagi sebagai butiran hujan, membasahi kesepian demi kesepian yang akan semakin panjang

Perjalanan keabadian


Telah kuterima suratmu, dari batangan hujan yang kau potong satu satu
Hujan yang tua itu, pernah singgah di batang2 bambu
Pernah singgah di genangan air di jalan jalan pemerintah
Bahkan sesekali mungkin menjadi genangan air kencingku
Panjang sekali ; perjalanannya adalah kebadian

Aku; Hujan


Aku ; rintik hujan yang jatuh di depan jendela kamarmu
Mengalir aku dan keakuanku dari parit, sungai, hingga samudera
Menjadi uap, menjadi embun, menjadi hujan, dan jatuh di depan jendela kamarmu
Berlari aku ke parit, ke sungai, terus ke samudera
Menjadi uap, menjadi embun, menjadi hujan
dan terap turun di depan jendela kamarmu
Aku ingin melihatmu sekali lagi, sekali lagi

Pontianak, 4/9/14 - 20:55

Sudah Bulan September

aku menulis gelisah di pucuk daun ketapang di depan rumah
bulir hujan yang pecah mengalir jatuh menyentuh tanah yang ramah
sudah bulan september, hujan mulai sering turun rintik
rindu menderu, hujan gemericik
pada senyumannmu yang ghaib, hujan menjelma sendiri menjadi puisi
bibirmu menjadi begitu magis, meranya merekah begitu manis
sudah bulan september, hujan turun di teras rumahku, sedangkan rindu lebur dalam kesepianku

Pontianak, 04/09/14-10:44

Tidakkah Kau Melihat?


tidakkah kau melihat langit ditinggikan, agar kau berdiri tegak tak menunduk sempoyongan
tapi mulut-mulutmu yang meracau, menyebut nama-Nya dalam kesepian tanpa pemahaman
tidakkah kau melihat bumi dikokohkan, agar kau berdiri tegak tak jatuh dan bergedebam
tapi kesombongan menutup hatimu dari benderang cahaya bintang kesadaran
Tidakkah kau melihat?

Pontianak, 04/09/14 - 10:13

Aku Bukan Penyair


aku bukan penyair,
hanya pemulung dari serakan kata-kata
mengumpulkan huruf demi huruf
untuk ditanak menjadi nasi puisi
aku bukan penyair
hanya pemulung dari serakan tanda baca
mengumpulkan degub demi degub
dari para pecinta yang kehilangan sajaknya

Pontianak, 4/9/14- 09:54

Kamis, 24 April 2014

MALA


Aku mendengus kesal. Nafasku tak lagi teratur. Sudah lebih dari satu jam aku mengitari Jalan Malioboro yang ramai.

Kemana dia menghilang?

Tadi seusai shalat maghrib aku melihatnya di pelataran masjid. Kutinggalkan mengambil ransel ia hilang begitu saja. Kupikir ia tak pergi jauh, pasti masih di sekitar Malioboro. Ternyata aku salah.

Sudah lebih dari setahun aku tak berjumpa dengannya. Terakhir aku mendengar ia melanjutkan Kuliah di Jakarta. Mala namanya, kami putus di akhir bulan Desember tahun lalu. Melihatnya hari ini membuat rasa yang mati-matian kubunuh kembali hidup. Mungkin masih ada kesempatan, mungkin belum terlambat. Toh, alasan kami putus menurutku tak masuk akal. Ia takut akan jarak.

Aku mengejar masa laluku, tapi ternyata aku tak mampu

Hampir  seminggu aku tinggal di Kota ini, Jogjakarta. Menghabiskan hari-hari di berbagai tempat wisata yang sudah lama kuimpi-impikan. Besok harusnya aku sudah berangkat ke Solo, menemui sepupuku yang tinggal di sana. Tapi melihat Mala malam ini membuat aku ragu. Mungkin ada kebetulan lain yang akan mempertemukan aku dengannya bila aku tetap di sini.

Kadang harapan tak selalu sama dengan kenyataan.

Aku berjalan lambat-lambat, meninggalkan keriuhan Malioboro yang tak pernah lekang.
Mataku kembali tertuju pada satu sosok. Wajah yang sangat tidak asing. Kerlap-kerlip lampu jalanan memantul di wajah ayunya. Tidak jauh dariku, Mala menggandeng seorang pria. Seseorang yang sangat kukenal, Aryo, Sahabatku sejak SMA dulu. Kulangkahkan kakiku menjauh, menuju Stasiun Tugu. Malam ini juga, kuucapkan selamat tinggal pada Jogja, pada keping masa lalu yang tertinggal di sana.

Mampuslah aku dengan segala rinduku sendiri.


Senin, 24 Februari 2014

PISAH


"Maafkan aku yang tak bisa menjadi seperti yang kau mau" Ujarmu lembut. Ini musim kemarau yang panjang di kota kita. Kabut asap tebal  membuat jarak pandang begitu pendek. Dan ketahuilah, kabut ini tak mampu menyembunyikan air mata yang mengalir di pipimu.

"Kita selalu punya rencana-rencana besar, namun dibalik itu semua kita hanyalah para pemeran yang harus selalu siap menerima skenario Tuhan" Bisikku sambil membelai rambutmu yang terurai. Rambut yang aromanya selalu kuingat bertahun-tahun ini.

"Jangan alihkan pembicaraan. Kau belum memaafkanku?". Ah kau, apakah kau melihat gurat kekecewaan di wajahku?.

"Tak ada yang perlu dimaafkan. Aku tak pernah meminta engkau berubah" Balasku sambil merangkul tubuhmu yang tampak kedinginan. Kau sudah lebih gemuk dibanding pertama kali kita bertemu dulu. Tanganku harus mendekap lebih lebar.

"Tapi aku tak bisa membuatmu bahagia". Kau menyandarkan kepalamu di bahuku. Dekapanku semakin erat, rasanya tak ingin kulepas. Aku benci perpisahan, namun aku benci pertemuan bila hanya untuk berpisah.

"Darimana kamu tahu aku tak bahagia? urusan hatiku mana kamu tahu walau kita bersama bertahun-tahun". Aku tak sanggup memandang matamu, aku tak mau membuat perpisahan ini semakin sulit.

"Bukankah selama ini kita terus melalui masa-masa sulit. Lebih banyak menangis bersama daripada tersenyum bersama". Kabut kian pekat dan aku tahu air mata semakin deras mengalir dari matamu.

"Itu yang membuatku bahagia. Kita melalui semua ini bersama. Menguatkan di kala rapuh, menegakkan di kala runtuh". Aku mengusap air matamu, tiba-tiba saja aku ingin melihat senyummu untuk terakkhir kali.

"Aku beruntung pernah mengenalmu", Kamu juga menggenggam tanganku yang masih di pipimu. Memamerkan deretan gigi putih yang senantiasa mempercantik senyummu. Ah! aku akan rindu senyum itu.

Malam kian dingin, rembulan bersinar redup di balik kabut. Kau meninggalkanku sendiri. Aku berjanji, besok di pelaminanmu, akan kukirim suamimu ke neraka.

baca cerita pendek dan puisi lain di sini

Minggu, 16 Februari 2014

Masihkah Ada Cinta Untukku?


"Masihkah ada cinta untukku?" ia menatapku penuh harap. Debur ombak memecah kesunyian malam, lampu-lampu mercusuar berkelap-kelip. Dua tiga perahu nelayan mulai meningalkan dermaga. Ia merapatkan jaketnya, malam begitu dingin.

"Masihkah ada cinta?. untuk waktu yang sekian lama aku lalui dalam kerinduan kau masih sempat bertanya masihkah ada cinta" Kata-kata itu sama sekali tak kuucap. hanya hening, hanya hening.

"Masihkah ada cinta untukku?" ia menatapkau sekali lagi, penuh harap. Sekali lagi debur ombak memecah kesunyian malam, mengembalikan ingatanku pada 6 tahun lalu. Saat ia pamit, ingin semua berakhir, karena baginya semua yang kami lalui bersama tak cukup membuatnya bahagia. Dan hari itu, aku hanya membalas dengan senyum. Senyum yang kemudian menjelma menjadi tangis bertahun-tahun.

Sabtu, 15 Februari 2014

Tentang Senja, Kopi, Lalu Matamu

 
boleh kutulis puisi tentang senja, sekali lagi

Di kedai kopi itu
Ketika di luar jalanan sedang macet dan lampu-lampu mulai dinyalakan
Mataku dan mata senja bertubrukan, jingganya pecah dan jatuh di cangkir-cangkir kopi yang isinya tinggal setengah
kuingat ibuku sedang sendiri di rumah, menjahit malamnya sendiri, dari kain perca sisa mengelap air mata

Mataku dan mata senja bertabrakan
Jingganya pecah menjadi bulir-bulir hujan
Ibuku di rumah mencuci kata yang mulai berdebu karena rindu

Kemaraunya Sang Penyair


setelah malam kian pekat seperti tinta penanya,
ia duduk sendiri di teras rumah, meminum kopi dari ampas tadi pagi,
sudah habis gula dan kopi di dapurnya,.yang tersisa hanya abu sisa buku nikah yang ia bakar bersama rindu, rindu yang tak pernah ingin ia usir sebenarnya,

dihembuskannya asap dari rongga hidungnya yang legam, akibat asap yang sama.bertahun-tahun,
tiga puntung rokok disambung dengan kertas koran, dijepit di antara telunjuk dan jari tengahnya,

kemarau telah terlalu lama, padi-padinya telah mati,.dan sang penyair tak jua punya ide mengarang puisi.

Minggu, 19 Januari 2014

Kapuas

 
Derik suara papan gertak yang mulai rapuh membuyarkan lamunanku. Sudah tiga jam aku duduk sendiri di dermaga, menunggu ikan menyambar umpan pancingku. sementara itu anganku terbang jauh berputar-putar lalu masuk ke mesin waktu menuju masa lalu.

Malam itu saat bulan purnama bertengger megah di langit Pontianak. Kau dan aku duduk berdua di atas perahu yang tertambat di dermaga. Sesekali kau menjentikkan jari menciptakan riak-riak kecil di air kapuas yang tenang, Di seberang sana ribuan lampion bercahaya bagai seribu kunang-kunang. Sebentar lagi imlek akan tiba.

Tak ada sebait katapun yang keluar dari mulut kita, hanya diam, hanya diam. Sesekali kau merapikan rambutmu yang sebenarnya masih rapi. Bola matamu kau edarkan untuk mengamati perahu-perahu nelayan yang hendak berangkat ke laut. Angin dingin bertiup menusuk, tapi disisimu aku tak merasa sejuk.

Kamis, 02 Januari 2014

Bandara


entahlah bagaimana ini dimulai, bagaimanapula akan berakhir

entah berpa juta orang telah menitikkan air mata di sini, bandara. saat tangan yang saling mengenggam, berpisah dan mencipta jarak hingga ribuan kilometer.

perpisahan tidak selalu bicara soal kehilangan. ada yang berpisah untuk saling merindukan, ada yang berpisah untuk saling melupakan.

bagaimanapun perpisahan itu maka kuncinya adalah saling mengikhlaskan. bukankah setiap pertemuan adalah awal bagi perpisahan. cepat atau lambat akan terjadi, maka menerima kenyataan adalah lebih mulia daripada merutuki.

Senja turun, malam menyergap.kulangkahkan kaki pulang,aku tahu sekarang, bahwa perpisahan itu ada, agar kita menghargai betapa indahnya kebersamaan. agar kita tak saling menyiakan kesempatan. agar kita tak menjadi orang yang kufur akan perasaan.

entah bagaimana ini dimulai, bagaimanapula akan berakhir.
di senyummu yang sederhana aku ingin singgah, sekali lagi, sekali lagi.

Turun Tangan, Jangan Lipat Tangan

Selamat datang 2014, selamat datang tahun yang pernuh kompetisi. 

Yaps! 2014 bakal jadi tahun yang penuh dengan kompetisi. Di dalam negeri kita bakal menyaksikan kompetisi antar orang-orang besar yang bakal adu visi demi meraih posisi tertingi di negeri ini, Sang Presiden. Di Brazil sana akan ada kompetisi yang luar biasa, akan menyedot seluruh perhatian dunia, Piala Dunia. 

Gue gak akan bicara soal piala dunia, karena gue bodoh banget soal bola. Gue tipikal orang yang gak menggemari bola, sekalinya nonton bola palingan pas Tim Nasional Indonesia main. 

Akhir-akhir ini di twitter gue sering ngetweet tentang bangsa, tentang pergerakan, tentang Turun Tangan. Apa itu turun tangan? gue bakal jelasin di postingan gue kali ini.

Turun Tangan adalah sebuah gerakan, gerakan untuk Indonesia yang lebih baik. Bersama turun tangan gue turut mendukung Anies Baswedan dalam konvensi partai demokrat. 


Turun tangan adalah gerakan, diisi oleh kaum relawan. Relawan tidak di bayar, bukan karena tak dihargai tapi karena harga diri relawan terlalu mahal untuk sekedar ditukar lembar-lembar rupiah.  Beberapa orang sempet nanya ke gue. "lo buzzernya Anies Baswedan ya?" "Dibayar berapa lo ama anies?". Sekali lagi gue bilang, gue gak dibayar. Walaupun akhir-akhir ini di linimasa seringkali kita ngeliat beberapa "aktivis twitter" nge-buzzer-in salah satu capres yang juga peserta konvensi, kami yang ada di turuntangan jelas berbeda.

Kenapa Anies Baswedan?