Senin, 08 September 2014

Bandara Saksi Mata


Banyak sudah air mata yang jatuh di bandara
Ada ibu yang menangisi kepergian anaknya
Ada istri yang melepas sang suami dengan derai air mata
Maka bandara menjadi saksi pilu demi pilu perpisahan

Di bandara pula gelak tawa pecah dari mereka yang bersuka ria
Sang ibu yang menyambut anaknya yang baru saja sarjana
Sang istri yang menyambut suaminya pulang dari perjalanan kerja
Serta anak-anak yang tak sabar minta oleh-oleh segera dibuka

Lihatlah! Pertemuan dan perpisahan tak berjarak di bandara. Tangis pedih, tangis rindu, tangis haru, semua di sini.

Dan bandara tetap bisu, rintik hujan yang turun, meleburkan kisah2 itu satu demi satu.

Gubuk Di Tepi Pantai


Dari jendela yang reot itu
Ia melihat ombak, melihat lambai kelapa memanggil angin, memanggil hujan
Dari jendela yang reot itu ia menunggu matahari pagi terbit dari kaki2 pulau yang berbaris di seberang
Ia tak lagi muda, raganya yang renta, terbujur diam di atas ranjang yang turut menua
Hanya matanya,hanya matanya memberi isyarat
Betapa kesepian telah membunuh sekian banyak waktunya
Dipandangnya figura tak berkaca yang tergantung miring di dinding kamarnya
"Pulanglah nak" bisiknya lirih.
Mendadak sunyi, desir angin melingkupi sepi

Ia pergi, dan anaknya pulang dengan derai air mata

Sepuluh Tahun


sepuluh tahun yang lalu, ia meninggalkan kampung halaman, berjanji tak akan pulang sebelum menang
sepuluh tahun yang lalu, ibunya menangis, menghantar ia di depan pintu bandara, air matanya, menjelma butir hujan yang jatuh di sepanjang sungai kapuas

sepuluh tahun lamanya ia pergi dan ibunya menunggu di rumah sambil menjahitkan kemeja untuk dipakai anak satu-satunya di perantauan ketika nanti pulang

sepuluh tahun berlalu dan tak juga ia muncul untuk memeluk, membawa pulang kemenangan seperti yang ia janjikan.

sepuluh tahun telah memakan usia ibunya, menjadi tua renta yang kesepian
sepuluh tahun sudah, telah pupus harapan, ia pulang namun tak mampu lagi memeluk dan mencium
ia pulang, ia pulang.

ketika gundukan tanah basah itu ditinggalkan, air mata ibunya yang dulu turun lagi sebagai butiran hujan, membasahi kesepian demi kesepian yang akan semakin panjang

Perjalanan keabadian


Telah kuterima suratmu, dari batangan hujan yang kau potong satu satu
Hujan yang tua itu, pernah singgah di batang2 bambu
Pernah singgah di genangan air di jalan jalan pemerintah
Bahkan sesekali mungkin menjadi genangan air kencingku
Panjang sekali ; perjalanannya adalah kebadian

Aku; Hujan


Aku ; rintik hujan yang jatuh di depan jendela kamarmu
Mengalir aku dan keakuanku dari parit, sungai, hingga samudera
Menjadi uap, menjadi embun, menjadi hujan, dan jatuh di depan jendela kamarmu
Berlari aku ke parit, ke sungai, terus ke samudera
Menjadi uap, menjadi embun, menjadi hujan
dan terap turun di depan jendela kamarmu
Aku ingin melihatmu sekali lagi, sekali lagi

Pontianak, 4/9/14 - 20:55

Sudah Bulan September

aku menulis gelisah di pucuk daun ketapang di depan rumah
bulir hujan yang pecah mengalir jatuh menyentuh tanah yang ramah
sudah bulan september, hujan mulai sering turun rintik
rindu menderu, hujan gemericik
pada senyumannmu yang ghaib, hujan menjelma sendiri menjadi puisi
bibirmu menjadi begitu magis, meranya merekah begitu manis
sudah bulan september, hujan turun di teras rumahku, sedangkan rindu lebur dalam kesepianku

Pontianak, 04/09/14-10:44

Tidakkah Kau Melihat?


tidakkah kau melihat langit ditinggikan, agar kau berdiri tegak tak menunduk sempoyongan
tapi mulut-mulutmu yang meracau, menyebut nama-Nya dalam kesepian tanpa pemahaman
tidakkah kau melihat bumi dikokohkan, agar kau berdiri tegak tak jatuh dan bergedebam
tapi kesombongan menutup hatimu dari benderang cahaya bintang kesadaran
Tidakkah kau melihat?

Pontianak, 04/09/14 - 10:13

Aku Bukan Penyair


aku bukan penyair,
hanya pemulung dari serakan kata-kata
mengumpulkan huruf demi huruf
untuk ditanak menjadi nasi puisi
aku bukan penyair
hanya pemulung dari serakan tanda baca
mengumpulkan degub demi degub
dari para pecinta yang kehilangan sajaknya

Pontianak, 4/9/14- 09:54