Minggu, 29 Juli 2012

SANG JUARA

Lama gak bikin artwork. sebagai pengobat kangen gue pamerin deh yang terbaru dari gue. Dibuat untuk cover buletin kampus. temanya sang Juara.

Gak perlu panjang deh cuap-cuap, liatin aja.
Sang Jara-Artwork by Yahya "Mamon" Muhaimin
Dadah!

Senin, 23 Juli 2012

DIA SEORANG PAHLAWAN


Aku melihat sesosok tubuh berdiri di didepanku. Ia tak cukup tinggi, bahkan aku lebih tinggi darinya. Kulitnya mulai keriput, waktu telah memakan usianya. 

Dua puluh tiga tahun yang lalu, seorang pemuda kota, merantau jauh ke hulu sungai kapuas. Mengemban tugas mulia, menjadi seorang guru agama di sebuah kampung nun jauh di pedalaman. Ia benar-benar seorang pejuang, jauh jarak tak menjadi beban. Banyaknya sahabat-sahabatnya  yang menolak ditugaskan ke pedalaman sama sekali tak membuat tekadnya runtuh. Telah tertanam di hatinya, tekad pengabdian yang kokoh. 

Satu minggu perjalanan ditempuhnya dari kota menuju ibukota kabupaten kapuas hulu. Kemudian diteruskan dengan satu hari perjalanan menuju tempat tugas. Ini sama sekali tak membuatnya gentar. Menjadi “Guru” adalah cita-citanya sejak kecil. Ia tak mungkin menyerah.
Sebulan sekali, ia pergi ke ibukota kecamatan. Lagi-lagi jarak yang ditempuh tidaklah dekat. Untuk menerima gaji yang tak seberapa, ia butuh waktu berhari-hari. Tak Jarang Istrinya harus tinggal sendiri di rumah bersama anak tertuanya  yang waktu itu masih sangat kecil. Tinggal di sebuah rumah kecil yang jauh dari keramaian, bahkan dekat dengan kuburan menjadi perjuangan sendiri buat sang istri.  Demi seorang pria yang sedang berjuang, istrinya turut berjuang bersama. 

Ia bukan seorang yang neko-neko. Ia hanya punya satu keinginan, tetap mengajar sampai hari tua. Namun pengabdiannya ini tidak cukup, menjadi guru di sekolah belum memuaskan batinnya. Ia menjadi guru mengaji bagi anak-anak di kampung. Setiap sore setelah sholat ashar hingga menjelang maghrib rumahnya dipenuhi anak-anak yang silih berganti berdatangan belajar huruf demi huruf hijaiyah. Orang Islam harus pandai mengaji, katanya.

Rabu, 18 Juli 2012

Pesan Dari Mereka yang Sakit

Pagi tadi, di kampus, hari ketiga pendataan mahasiswa baru di kampus. Karena kami dari Hima juga melakukan pendataan jadi kami yang memang tinggal di Pontianak bergilir menjaga stand pendataan.

Tak ada yang istimewa dari pendataan ini, mahasiswa baru hanya mengisi formulir dan menyerahkan beberapa persyaratan. Terasa sangat membosankan.

Satu-satunya yang membuat gue semangat buat jaga stand adalah status gue yang jomblo yang udah menuntut buat dilengserkan. siapa tahu ada junior yang bisa di gebet. #modussenior.

Tenang! gue gak bakal cerita tentang Junior-junior gue yang kebanyakan cewek itu. Gue tahu, curhatan gak jelas gue bakal bikin efek negatif seperti gangguan kehamilan dan impotensi.
Sumber


CURI BUDAYA = MISKIN KEBUDAYAAN

SUMBER

Judul di atas memang cukup menyentil. Sama sekali tidak bermaksud untuk menjelekkan satu pihak tertentu saja, namun lebih pada penyadaran bagi pelaku "pencurian" kebudayaan.

Sebagai sebuah negara yang dianugerahi dengan banyak suku yang masing-masing memiliki kebudayaan masing-masing, maka Indonesia layak berbangga diri sebagai negara dengan kebudayaan terbanyak di dunia. 

Perihal kebudayaan ini saya mencoba menganalogikan Indonesia sebagai sosok Orang Kaya.

Sebagai "orang kaya"  maka Indonesia juga tidak jarang menjadi incaran empuk para "maling". Hal ini dapat dilihat dari beberapa kali kebudayaan Indonesia yang diakui oleh negara lain. Setelah pencurian terjadi maka mulailah si Orang Kaya heboh sendiri, bahkan memaki si Maling tanpa mencoba introspeksi mengapa hal ini terjadi. Mungkin saja ia lupa mengunci pintu sehingga maling masuk dengan mudah. Si Maling memang salah, namun ia juga teledor.

Dengan alasan apapun pencurian itu, si Maling tetaplah salah. Mencuri merupakan perbuatan yang hina, semiskin-miskinnya si Maling seharusnya ia lebih cerdas untuk mencari jalan lain yang lebih baik.

Begitulah kira-kira analoginya, Kita bangsa Indonesia sering lengah, kita sering melupakan  kebudayaan bangsa sendiri. ketika bangsa lain mencuri budaya kita, kita kalang kabut tanpa introspeksi.

Mari menjaga kebudayaan!!!. Bila kita sudah yakin bahwa kita sudah berusaha menjaganya maka barulah kita pantas untuk berteriak lantang :

HAI NEGARA ASING!!! JANGAN CURI BUDAYA KAMI.

Kamis, 12 Juli 2012

"R"

Belkibal

“Endonesa tanah ailku tanah tumpah dalahku. Di sanalah aku beldili jadi pandu ibuku. Endonesa kebangsaanku, bangsa dan tanah ailku. Malilah kita belselu Endonesa belsatu…” 

Lia tahu teman-temannya sedang menertawakannya, namun ia sama sekali tak bergeming, ia terus  menyanyikan lagu Indonesia Raya. 

Lia masih kelas satu sekolah dasar, dan ia sangat suka hari Senin. Entah mengapa sejak hari pertama ia masuk sekolah ia sangat senang bila waktu upacara tiba. Ia masih ingat saat pertama kali ia mendengar lagu Indonesia Raya dinyanyikan dan bendera merah putih berkibar dengan gagahnya.

“Ma mengapa meleka selalu mengejeku bila aku belnyanyi?,” Tanya Lia sepulang dari sekolah. Nafasnya masih terengah-engah dan keringat masih mengalir dari keningnya. Ibunya tak menjawab apa-apa, ini sudah kesekian kalinya Lia menanyakan pertanyaan yang sama. Hari ini Lia lagi-lagi tak mendapatkan jawaban.

Senin-senin selanjutnya Lia tetap antusias mengikuti upacara bendera. Ia selalu berdiri di barisan paling depan, menyanyi paling lantang, tanpa peduli mata-mata yang memandangnya dengan aneh. ia sangat menikmati ketika kain dua warna yand dikaguminya perlahan-lahan naik ke ujung tiang bendera. 

Pernah pada suatu hari Lia jatuh sakit, hari itu hari senin dan Lia tetap memaksa sekolah.

“Lia hanya ingin upacala ma, setelah itu Lia akan izin pulang,” Lia berusaha membujuk ibunya. Hari itu Lia kembali berdiri di baris depan dan bernyanyi dengan lantang. Seperti biasa. Ada yang tertawa dan ada pula yang menatapnya dengan pandangan aneh. Lia tak peduli.

Ejekan teman-temannya sama sekali tak pernah Lia pedulikan . 

“Dasar anak Cina!,” begitulah salah seorang teman Lia memakinya saat Lia tanpa sengaja menumpahkan bekal yang di bawa teman sebangkunya. 

“Aku olang Indonesia,” ingin sekali Lia mengucapkan kalimat itu, tapi ia hanya mampu menangis.

Sejak hari itu Lia menjadi pendiam dan sering menyendiri. Tak ada yang menghiburnya, ia benar-benar sendiri. 

“Ma, Lia ingin pindah,”

“Pindah? Kenapa?,” Keinginan Lia yang tiba-tiba ini sangat mengejutkan ibunya. 

“Lia ingin pindah, Lia ingin sekolah dengan Steven saja,” Steven adalah sepupu jauh Lia.

“Kenapa? Ada yang salah dengan sekolahmu? di Sekolah Steven anak kelas satu tidak boleh ikut upacara bendera lho!”

“Tidak apa, Lia tidak mau upacala lagi. Selamanya tidak upacala lagi juga tidak apa-apa,” Lia menangis terisak-isak.
 
“Kamu di ejek teman-temanmu lagi?’. 

“Meleka menyebut Lia anak Cina, meleka selalu mengejek Lia karena lia tidak fasih menyanyikan lagu Endonesia Laya,”. Ibunya menarik nafas dalam-dalam, sejak awal inilah yang sangat ditakutkannya. Terbayang kembali dalam benaknya, berpuluh puluh  tahun yang lalu ia berhenti sekolah. Ia tidak tahan diejek teman-temannya yang pribumi hanya karena tidak bisa menyebut huru “R”. 

“Kamu ketulunan Cina nak, tapi kamu adalah olang Indonesia,”

“Benarkah?,” Lia antusias.


“Iya, secara fisik kamu adalah cina, tapi hati kamu nak, hati kamu adalah Indonesia,”  Ibu Lia memeluk Lia dengan erat.

“Banyak anak di lual sana yang katanya anak-anak Indonesia ogah-ogahan saat upacara, dan kamu selalu menyambutnya dengan bahagia,” 

“Kamu lebih Indonesia dibanding meleka, belbanggalah nak!,” Ibu Lia mengecup kening Lia, air matanya mengalir tak kuasa menahan haru.

***

“Endonesa tanah ailku tanah tumpah dalahku. Di sanalah aku beldili jadi pandu ibuku. Endonesa kebangsaanku, bangsa dan tanah ailku. Malilah kita belselu Endonesa belsatu…”
Seorang anak Indonesia, Lia Wang, berdiri di baris paling depan dan suaranya masih tetap lantang. Kain dua warna berkibar di ujung tiang bendera.  Masih ada saja yang menertawakannya, masih ada saja yang menatapnya dengan pandangan aneh. Lia tak peduli.

Senin, 09 Juli 2012

KEJORA


Awan kelabu bergelayut di langit sorong. Cahaya matahari hanya tinggal 5 watt saja. Kemerdekaan tengah di rayakan, namun aku khawatir alam tengah menunjukkan matinya harapan.

Sang Saka  Merah Putih merangkak naik, sepuluh anak papua berbaris mengelilinginya dengan posisi hormat.

Pikiranku mengawang awang, ada sesuatu yang mengganjal. Keraguan.

Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku

Angin menderu, langit kelabu. Aku berdiri di bawah cahaya matahari lima watt. Di sini, di negeri yang kusebut Indonesia.  

‘Tenanglah nak, sebentar lagi kita merdeka. Kita akan bebas nak. Lihatlah di atap rumah kita! Bintang kejora berkibar-kibar,” Bapak menepuk pundakku, aku membaca harapan yang menggebu-gebu dari sorot matanya. 

“Aku suka merah putih,” 

“Merah putih itu hanya symbol nak. Mereka bilang merah itu berani, tapi mereka takut pada negeri tetangga. Mereka bilang putih itu suci, tapi Kitab Suci saja dikorupsi,”. Bapak semakin berapi-api. Aku hanya terdiam.

Indonesia kebangsaanku
Bangsa dan Tanah Airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu

Angin masih menderu, langit masih  kelabu. Aku berdiri di bawah cahaya matahari lima watt. Di sini, di negeri yang kusebut Indonesia.  

“Kita bangsa papua, hanya  punya satu tanah  air, tanah air Papua,” 

“Tapi Indonesia yang memerdekakan kita pak,” Bantahku

“Bukan memerdekakan nak, ini semua permainan politik. Mereka merebut papua hanya untuk menguasai emasnya saja. Lihatlah, negeri mereka kaya raya sedangkan kita miskin dan menderita,”. Aku tak dapat berkata apa-apa, bapak mencoba merangkulku, bintang kejora semakin berkibar. 

“Kita kuat kalau kita bersatu pak. Guruku bilang begitu. Memisahkan diri membuat kita lemah,”

“Pasti gurumu yang dari jawa itu telah meracuni otakmu. Mereka pembohong. Kalau bapak pandai membaca, tak kusekolahkan kamu di sekolah merah putih. Biar bapak ajari sendiri di rumah,” Orasi bapak semakin menjadi jadi. Aku rasa seperti inilah orasi Bung Tomo membangkitkan semangat pejuang mengusir Belanda dari Surabaya. 

“apa artinya bersatu, kalau kita tidak dapat apa-apa. Hanya penderitaan, itu saja,” Tambahnya lagi meyakinkanku.

Hiduplah tanahku
Hiduplah negriku
Bangsaku Rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya

Angin tetap menderu, langit tetap  kelabu. Aku berdiri di bawah cahaya matahari lima watt.  Aku mulai ragu menyebut  tempat ini  Indonesia.

Lima hari berlalu sejak bapak pergi berjuang. Entah siapa yang dilawan, aku tak tahu. Tak ada penjajah di sini, musuh bapak adalah “bangsa sendiri”.  

Hari ini bapak pulang, tapi tak membawa nyawanya. “Di tembak polisi,” hanya itu kata yang keluar dari pamanku. Ibuku menangis, tapi aku tidak.

Bapakku mati, dia benar-benar bukan Indonesia. Karena lagu Indonesia raya mengajarkanku Indonesia itu hidup, tidak mati. 

Bapakku bukan Indonesia, mungkin aku juga.

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya


Angin terus  menderu, langit  makin kelabu. Aku berdiri di bawah cahaya matahari lima watt. Di sini, entahlah apa nama negerinya.

Bendera merah putih berkibar di tiang bambu setinggi 4 meter. Tiga orang temanku menghormat lalu berbalik meninggalkannya . membiarkannya tertiup angin.

Untuk sementara biarlah aku menjadi   Indonesia. Bila tetap begini, aku berjanji akan menyusul bapak menjadi Kejora. 

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya

Lagu itu masih terdengar di kepalaku.


Flashfiction ini diikutsertakan dalam proyek Nulis Bareng  Peduli Bareng 67 Cerita Untuk Indonesia

Senin, 02 Juli 2012

BAWANG MERAH, BAWANG PUTIH, DAN BAWANG BOMBAY


Alkisah di suatu negeri bernama MANDALEK hiduplah seorang janda bernama Mak Siti dengan ketiga putrinya, Bawang Merah, Bawang Putih, dan Bawang Bombay.

Bawang Merah adalah seorang gadis berwajah cantik serta berbudi pekerti mulia. Dia sudah yatim piatu karena ibunya meninggal dunia, dan Ayahnya menikah dengan seorang janda beranak dua. Namun selang beberapa bulan sang ayah juga meninggal.

"Merah! angkat jemuran! Hari akan hujan!," Mak Siti memekik
"Merah! setrikain baju gue , gue mau hang out nih!," Bawang Putih tak kalah memekik
"Merah! cucikan mobil," Bawang Bombay juga tak mau kalah.

Begitulah nasib  Bawang Merah. Di rumah ia dipekerjakan bagaikan seorang pembantu.

Pada suatu hari Bawang Merah bermaksud mencuci di sungai. Seperti biasa, Ibu Tiri  dan kedua kakaknya selalu minta dicucikan. Maka berangkatlah Bawang Merah dengan menjunjung keranjang berisi pakaian kotor dan menggendong Mesin Cuci di belakangnya.

Sedang asyik mencuci, tiba-tiba baju kakaknya robek. Bawang putih cemas, kakaknya pasti marah. Saat sedang menangis tiba-tiba muncul kabut. Dari dalam kabut muncullah jin penjaga sungai. Bawang putih terkejut, namun sang jin berusaha menenangkan. Sang jin kemudian membuat baju yang robek kembali seperti semula. Bawang merah dan jin kemudia bersahabat.