Senin, 23 Juli 2012

DIA SEORANG PAHLAWAN


Aku melihat sesosok tubuh berdiri di didepanku. Ia tak cukup tinggi, bahkan aku lebih tinggi darinya. Kulitnya mulai keriput, waktu telah memakan usianya. 

Dua puluh tiga tahun yang lalu, seorang pemuda kota, merantau jauh ke hulu sungai kapuas. Mengemban tugas mulia, menjadi seorang guru agama di sebuah kampung nun jauh di pedalaman. Ia benar-benar seorang pejuang, jauh jarak tak menjadi beban. Banyaknya sahabat-sahabatnya  yang menolak ditugaskan ke pedalaman sama sekali tak membuat tekadnya runtuh. Telah tertanam di hatinya, tekad pengabdian yang kokoh. 

Satu minggu perjalanan ditempuhnya dari kota menuju ibukota kabupaten kapuas hulu. Kemudian diteruskan dengan satu hari perjalanan menuju tempat tugas. Ini sama sekali tak membuatnya gentar. Menjadi “Guru” adalah cita-citanya sejak kecil. Ia tak mungkin menyerah.
Sebulan sekali, ia pergi ke ibukota kecamatan. Lagi-lagi jarak yang ditempuh tidaklah dekat. Untuk menerima gaji yang tak seberapa, ia butuh waktu berhari-hari. Tak Jarang Istrinya harus tinggal sendiri di rumah bersama anak tertuanya  yang waktu itu masih sangat kecil. Tinggal di sebuah rumah kecil yang jauh dari keramaian, bahkan dekat dengan kuburan menjadi perjuangan sendiri buat sang istri.  Demi seorang pria yang sedang berjuang, istrinya turut berjuang bersama. 

Ia bukan seorang yang neko-neko. Ia hanya punya satu keinginan, tetap mengajar sampai hari tua. Namun pengabdiannya ini tidak cukup, menjadi guru di sekolah belum memuaskan batinnya. Ia menjadi guru mengaji bagi anak-anak di kampung. Setiap sore setelah sholat ashar hingga menjelang maghrib rumahnya dipenuhi anak-anak yang silih berganti berdatangan belajar huruf demi huruf hijaiyah. Orang Islam harus pandai mengaji, katanya.


Bila maghrib  tiba, maka ia dan keluarga kecilnya kemudian melaksanakan shalat berjamaah. Ia tidak hanya pendidik bagi banyak muridnya di sekolah tetapi juga guru bagi anak yang masih kecil. Anak tertuanya dalam usia enam tahun bahkan sudah lancar membaca Al Qur’an.
Sang istri pernah bercerita. Dulu di awal pernikahan sang istri mengaji juga belum lancar. Tiap malam pria ini mengajari istrinya hingga benar benar pandai mengaji. Jika ibunya tidak pandai mengaji, bagaimana akan mendidik anak-anaknya nanti katanya.

Dua tahun di tempat tugas pertama ia akhirnya memutuskan pindah ke sekolah lain. Jangan salah, ia sama sekali tidak melupakan tekad pengabdiannya. Ia tidak memilih sekolah yang lebih dekat ke kecamatan, malah lebih jauh dan lebih terpencil. Di sini ia dan istrinya benar benar asing. Bila di tempat pertama masih banyak sanak saudara dari sang istri, di sini tidak ada sama sekali.

Di tempat yang baru ia tetap menjadi guru mengaji. Karena kampung yang baru lebih luas dari sebelumnya, murid mengajinya lebih ramai dari sebelumnya. Tak ada jeda sedikitpun untuknya istirahat. Namun ia bahagia, karena ini adalah cita-citanya. 

Di kampung inilah kemudian lahir anak keduanya. Ia dianugerahi kebahagiaan yang tiada tara. Seorang murid yang akan dididiknya sepanjang ia hidup telah lahir dari rahim istrinya. Tidak jarang, anak keduainya ini di bawa ke sekolah dengan gendongan dari kain. Ia sama sekali tak merasa risih berdiri berjam jam sambil menggendong anaknya. Anak-anak menyukainya.

Ia adalah seorang yang sederhana. Bagaimana tidak, sepanjang menjadi guru ia hanya menerima gaji lima puluh ribu sebulannya. Jumlah uang yang saat ini hanya cukup untuk jajanku dua hari. Setelah lahir anak kedua, kebutuhannya kian meningkat. Ini memaksanya berpikir keras agar kebutuhan keluarganya tercukupi. Jika keputusannya adalah berhemat, pengehematan apalagi yang harus ia lakukan. Bahkan sejak menjadi guru ia tak pernah membeli baju baru. Ia mengajar hanya dengan sebuah kemeja lusuh dengan logo PGRI yang sudah tidak jelas. Murid-muridnya bahkan mungkin bosan melihat bajunya ini. Setelah ditimbangnya masak-masak, ia akhirnya memutuskan ikut menjadi kuli pemikul kayu. Pekerjaan yang dilakukannya setiap hari minggu tiba.

Jangan mengira bahwa kayu kayu yang diangkutnya adalah kayu kayu kecil yang beratnya sama dengan sekarung beras. Kayu kayu yang diangkutnya adalah kayu kayu raksasa berdiameter hampir satu meter dan beratnya lebih dari tiga kali berat dirinya. Ia sama sekali tidak punya otot seperti Ade Rai. tubuhnya pendek, bahkan buncit di perutnya. Namun ia sama sekali tidak mengeluh, demi keluarga katanya. 

Di balik kerja kerasnya sebagai pemikul kayu, aku sendiri percaya saat ia mengerjakan semua itu ia tetap sedang mendidik. Ia tengah mengajarkan anak-anaknya serta memberi contoh kepada murid-muridnya sebuah pelajaran tentang kerja keras.

Perjalanan yang cukup jauh dari tengah belantara ke kampung membuatnya tiba di rumah pukul Sembilan malam. Itupun jika tidak ada halangan. Ia tidak langsung istirahat,  masih disempatkannya bercanda dengan anaknya walaupun tubuhnya  terasa remuk setelah berkerja seharian. 

Tubuhnya yang masih terasa pegal sama sekali tidak membuatnya terlambat dating ke sekolah. Hari senin memang tak ada mata pelajaran pendidikan agama islam, tapi akibat kekurangan tenaga guru, mata pelajaran lain pun di ajarkannya. Walaupun mata pelajaran yang dipegangnya tidak sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya ia tidak pernah menolak. Setiap malam ia selalu membuka buku pegangan guru untuk mempersipakan materi yang akan diajarkan esok harinya. Walaupun mata pelajaran itu bukan keahliannya, ia tak mau menyesatkan muridnya katanya.

Tidak hanya sebatas itu. bila ada salah satu guru yang sakit dan tidak bisa mengajar ia terkadang harus mengajar rangkap kelas. Dua kelas diajarkannya sendiri, bolak balik ia di dua kelas. 

Ia sering menggantikan temannya yang sakit, tapi bila ia yang sakit ia tetap mengajar. Pernah suatu ketika penyakitnya benar-benar parah, bahkan untuk duduk saja tidak mampu. Namun ia tetap memaksa untuk tetap mengajar. Maka dipapahlah ia oleh istrinya ke sekolah. 

Tidak hanya sebagai guru di sekolah dan guru mengaji. Ia juga menjadi guru bagi masyarakat. Hampir setia jum’at ia menjadi khatib dengan bekal ilmu agama yang dimilikinya. Ia juga aktif di masyarakat. Sepulang mengajar ia kadang menyempatkan dirinya mampir ke kantor desa. Membantu pekerjaan pekerjaan yang dapat ia kerjakan di sana. 

Setelah sekian lama menjadi kuli pemikul kayu, akhirnya ia dan istrinya membuat sebuah warung kecil. Pilihannya kali ini sama  sekali tidak membuat pekerjaannya ringan. Setiap minggu ia harus berjalan kaki berpuluh puluh kilometer untuk membeli barang dagangan untuk dijual kembali dengan untung yang tidak besar. Berangkat shubuh dan pulang di waktu senja adalah rutinitasnya setiap hari minggu, berates ratus kilo barang dipanggulnya. tapi percayalah, ia bukan pedagang, ia masih seorang guru.

Ia pernah membeli sebuah sepeda motot, YT merknya. Sebuah motor rakitan Yamaha yang entah sekarang masih dibuat atau tidak. Ia tak pernah mengemudikannya. Sejak dibeli sampai kemudian dijual, motor itu disewakannya pada seorang teman untuk mengojek. “untuk apa saya motor? Pekerjaan saya hanya mengajar. Jalan kaki tak sampai tiga menit dari rumah,” ujarnya sambil  tersenyum. Ia bisa saja menjadi tukang ojek dengan notor barunya. Tapi konsekuaensinya ia harus sering bolos mengajar, dan niat itu tidak sama sekali terbersit dihatinya.

Setelah sekian banyak murid dididiknya, akhirnya beberapa tahun kemudian ia kembali dimutasi ke kampung lain. Kampung yang memang lebih dekat dengan ibukota kecamatan yang baru. Dua tahun ia mengabdi. Sama seperti sebelumnya, ia juga menjadi guru ngaji dan khatib shalat jum’at.

setelah beberapa kali pindah tempat tugas di kabupaten yang  sama, 12 Tahun lalu Dia kembali ke kota. Memboyong anak dan istrinya, memulai hidup yangbaru yang tetap tidak mudah. Tempat tugas yang baru cukup jauh dari rumah, dia yang masih hidup dengan sederhana tidak punya cukup uang untuk membeli sebuah motor. Setiap minggu sore ia mengayuh sepeda menuju tempat tugas, menginap, dan kembali di hari rabu. Dia benar-benar pahlawan. 

Di sini ia membangun istana mungilnya. Sebuah rumah yang luasnya tidak lebih dari dua puluh meter persegi harus ditempatinya berserta istri dan tiga anaknya.

Setahun pindah, ia akhirnya memperoleh rezeki untuk membeli sebuah sepeda motor. Astria Prima keluaran tahun Sembilan pulahan menjadi tunggangannyaa. Ia sangat bangga, motor yang dipakainya adalah hasil jerih payahnya mengajar.

Tak berselang lama, Tuhan membalas pengabdiannya selama ini. Ia ditawari pemerintah melanjutkan kuliah S1  melalui program persamaan. Sabtu dan minggu ia kuliah sedangkan hari lainnya tetap mengajar. 

Saat kuliahpun ia tietap dikenal sebagai seorang yang sederhana. Bagaimana tidak, walaupun ia seorang guru ia tidak pernah malu membawa bekal makanan dari rumah. Ia juga tidak pernah memakaibaju yang istimewa. Hanya tiga buah kemeja yang menjadi andalannya. Sebuah sepatu karet senantiasa pula menemaninya. Ia seorang guru yang bersahaja.

Hal yang paling mengejutkannya adalah saat mengetahui bahwa salah satu murid yang pernah diajarkannya mengaji dulu kini adalah dosennya. Ia sama sekali tidak malu diajari muridnya, bahkan ia tersenyum bangga. Statusnya sebagai seorang guru sama sekali tidak membuat dirinya angkuh dan meremehkan muridnya. Ia memperlakukan muridnyanya itu sama seperti dosennya yang lain. 

Empat tahun lalu, dia lolos kualifikasi sebagai kepala sekolah. Pintu harapan terbuka, namun perjuangan belum berakhir. Ia dipilih memimpin sebuah Sekolah yang cukup terpencil. Jaraknya hanya satu jam ke ibukota provinsi, namun ia harus menhadapi tantangan yang sama dengan tantangan yang dihadapinya sepuluh tahun yang lalu. 

Namun jiwanya yang seorang pendidik tetaplah seorang pendidik. Semangatnya tidak pernah mati, jiwa pengabdiannya tetap membara. Semua dihadapinya dengan ikhlas dan sabar. Terbukti, empat tahun dipimpinnya, sekolah itu kian membaik keadaannya.

 Dialah yang kini ada di depanku. Seorang tua dengan rambutnya yang mulai beruban. Seorang tua yang telah meallui sekian banyak petualangan dalam misinya sebagai seorang pendidik. Dia itu bapakku, seorang guru, seorang pahlawan bagiku.

Ia tak punya murid yang sehebat laskar pelangi, dan ia bukan satu-satunya guru dengan pengabdian yang luar biasa. Ia hanya satu dari banyak guru dengan pengabdian yang sama. Tapi bagiku, dialah sang pengabdi, guru nomor satu di Republik Indonesia.

2 Komendang:

OUTBOUND DI MALANG BALAS MON!!! mengatakan...

nice post :)
ditunggu kunjungan baliknya yaah ,

Anonim BALAS MON!!! mengatakan...

mantap!! cerita yang inspiratif
mampir ya ke blog gue