Aku melihat sesosok tubuh berdiri di didepanku. Ia tak cukup
tinggi, bahkan aku lebih tinggi darinya. Kulitnya mulai keriput, waktu telah
memakan usianya.
Dua puluh tiga tahun yang lalu, seorang pemuda kota,
merantau jauh ke hulu sungai kapuas. Mengemban tugas mulia, menjadi seorang
guru agama di sebuah kampung nun jauh di pedalaman. Ia benar-benar seorang
pejuang, jauh jarak tak menjadi beban. Banyaknya sahabat-sahabatnya yang
menolak ditugaskan ke pedalaman sama sekali tak membuat tekadnya runtuh. Telah
tertanam di hatinya, tekad pengabdian yang kokoh.
Satu minggu perjalanan ditempuhnya dari kota menuju ibukota
kabupaten kapuas hulu. Kemudian diteruskan dengan satu hari perjalanan menuju
tempat tugas. Ini sama sekali tak membuatnya gentar. Menjadi “Guru” adalah
cita-citanya sejak kecil. Ia tak mungkin menyerah.
Sebulan sekali, ia pergi ke ibukota kecamatan. Lagi-lagi
jarak yang ditempuh tidaklah dekat. Untuk menerima gaji yang tak seberapa, ia
butuh waktu berhari-hari. Tak Jarang Istrinya harus tinggal sendiri di rumah
bersama anak tertuanya yang waktu itu
masih sangat kecil. Tinggal di sebuah rumah kecil yang jauh dari keramaian,
bahkan dekat dengan kuburan menjadi perjuangan sendiri buat sang istri.
Demi seorang pria yang sedang berjuang, istrinya turut berjuang bersama.
Ia bukan seorang yang neko-neko. Ia hanya punya satu
keinginan, tetap mengajar sampai hari tua. Namun pengabdiannya ini tidak cukup,
menjadi guru di sekolah belum memuaskan batinnya. Ia menjadi guru mengaji bagi
anak-anak di kampung. Setiap sore setelah sholat ashar hingga menjelang maghrib
rumahnya dipenuhi anak-anak yang silih berganti berdatangan belajar huruf demi
huruf hijaiyah. Orang Islam harus pandai mengaji, katanya.
Bila maghrib tiba,
maka ia dan keluarga kecilnya kemudian melaksanakan shalat berjamaah. Ia tidak
hanya pendidik bagi banyak muridnya di sekolah tetapi juga guru bagi anak yang
masih kecil. Anak tertuanya dalam usia enam tahun bahkan sudah lancar membaca
Al Qur’an.
Sang istri pernah bercerita. Dulu di awal pernikahan sang
istri mengaji juga belum lancar. Tiap malam pria ini mengajari istrinya hingga
benar benar pandai mengaji. Jika ibunya tidak pandai mengaji, bagaimana akan
mendidik anak-anaknya nanti katanya.
Dua tahun di tempat tugas pertama ia akhirnya memutuskan
pindah ke sekolah lain. Jangan salah, ia sama sekali tidak melupakan tekad
pengabdiannya. Ia tidak memilih sekolah yang lebih dekat ke kecamatan, malah lebih
jauh dan lebih terpencil. Di sini ia dan istrinya benar benar asing. Bila di
tempat pertama masih banyak sanak saudara dari sang istri, di sini tidak ada
sama sekali.
Di tempat yang baru ia tetap menjadi guru mengaji. Karena kampung
yang baru lebih luas dari sebelumnya, murid mengajinya lebih ramai dari
sebelumnya. Tak ada jeda sedikitpun untuknya istirahat. Namun ia bahagia,
karena ini adalah cita-citanya.
Di kampung inilah kemudian lahir anak keduanya. Ia
dianugerahi kebahagiaan yang tiada tara. Seorang murid yang akan dididiknya
sepanjang ia hidup telah lahir dari rahim istrinya. Tidak jarang, anak
keduainya ini di bawa ke sekolah dengan gendongan dari kain. Ia sama sekali tak
merasa risih berdiri berjam jam sambil menggendong anaknya. Anak-anak
menyukainya.
Ia adalah seorang yang sederhana. Bagaimana tidak, sepanjang
menjadi guru ia hanya menerima gaji lima puluh ribu sebulannya. Jumlah uang
yang saat ini hanya cukup untuk jajanku dua hari. Setelah lahir anak kedua,
kebutuhannya kian meningkat. Ini memaksanya berpikir keras agar kebutuhan
keluarganya tercukupi. Jika keputusannya adalah berhemat, pengehematan apalagi
yang harus ia lakukan. Bahkan sejak menjadi guru ia tak pernah membeli baju
baru. Ia mengajar hanya dengan sebuah kemeja lusuh dengan logo PGRI yang sudah
tidak jelas. Murid-muridnya bahkan mungkin bosan melihat bajunya ini. Setelah
ditimbangnya masak-masak, ia akhirnya memutuskan ikut menjadi kuli pemikul
kayu. Pekerjaan yang dilakukannya setiap hari minggu tiba.
Jangan mengira bahwa kayu kayu yang diangkutnya adalah kayu
kayu kecil yang beratnya sama dengan sekarung beras. Kayu kayu yang diangkutnya
adalah kayu kayu raksasa berdiameter hampir satu meter dan beratnya lebih dari
tiga kali berat dirinya. Ia sama sekali tidak punya otot seperti Ade Rai.
tubuhnya pendek, bahkan buncit di perutnya. Namun ia sama sekali tidak
mengeluh, demi keluarga katanya.
Di balik kerja kerasnya sebagai pemikul kayu, aku sendiri
percaya saat ia mengerjakan semua itu ia tetap sedang mendidik. Ia tengah
mengajarkan anak-anaknya serta memberi contoh kepada murid-muridnya sebuah
pelajaran tentang kerja keras.
Perjalanan yang cukup jauh dari tengah belantara ke kampung
membuatnya tiba di rumah pukul Sembilan malam. Itupun jika tidak ada halangan.
Ia tidak langsung istirahat, masih
disempatkannya bercanda dengan anaknya walaupun tubuhnya terasa remuk setelah berkerja seharian.
Tubuhnya yang masih terasa pegal sama sekali tidak membuatnya
terlambat dating ke sekolah. Hari senin memang tak ada mata pelajaran
pendidikan agama islam, tapi akibat kekurangan tenaga guru, mata pelajaran lain
pun di ajarkannya. Walaupun mata pelajaran yang dipegangnya tidak sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya ia tidak pernah menolak. Setiap malam ia selalu membuka
buku pegangan guru untuk mempersipakan materi yang akan diajarkan esok harinya.
Walaupun mata pelajaran itu bukan keahliannya, ia tak mau menyesatkan muridnya
katanya.
Tidak hanya sebatas itu. bila ada salah satu guru yang sakit
dan tidak bisa mengajar ia terkadang harus mengajar rangkap kelas. Dua kelas
diajarkannya sendiri, bolak balik ia di dua kelas.
Ia sering menggantikan temannya yang sakit, tapi bila ia
yang sakit ia tetap mengajar. Pernah suatu ketika penyakitnya benar-benar
parah, bahkan untuk duduk saja tidak mampu. Namun ia tetap memaksa untuk tetap
mengajar. Maka dipapahlah ia oleh istrinya ke sekolah.
Tidak hanya sebagai guru di sekolah dan guru mengaji. Ia
juga menjadi guru bagi masyarakat. Hampir setia jum’at ia menjadi khatib dengan
bekal ilmu agama yang dimilikinya. Ia juga aktif di masyarakat. Sepulang
mengajar ia kadang menyempatkan dirinya mampir ke kantor desa. Membantu
pekerjaan pekerjaan yang dapat ia kerjakan di sana.
Setelah sekian lama menjadi kuli pemikul kayu, akhirnya ia
dan istrinya membuat sebuah warung kecil. Pilihannya kali ini sama sekali tidak membuat pekerjaannya ringan.
Setiap minggu ia harus berjalan kaki berpuluh puluh kilometer untuk membeli
barang dagangan untuk dijual kembali dengan untung yang tidak besar. Berangkat
shubuh dan pulang di waktu senja adalah rutinitasnya setiap hari minggu,
berates ratus kilo barang dipanggulnya. tapi percayalah, ia bukan pedagang, ia
masih seorang guru.
Ia pernah membeli sebuah sepeda motot, YT merknya. Sebuah
motor rakitan Yamaha yang entah sekarang masih dibuat atau tidak. Ia tak pernah
mengemudikannya. Sejak dibeli sampai kemudian dijual, motor itu disewakannya
pada seorang teman untuk mengojek. “untuk apa saya motor? Pekerjaan saya hanya
mengajar. Jalan kaki tak sampai tiga menit dari rumah,” ujarnya sambil tersenyum. Ia bisa saja menjadi tukang ojek
dengan notor barunya. Tapi konsekuaensinya ia harus sering bolos mengajar, dan
niat itu tidak sama sekali terbersit dihatinya.
Setelah sekian banyak murid dididiknya, akhirnya beberapa
tahun kemudian ia kembali dimutasi ke kampung lain. Kampung yang memang lebih dekat
dengan ibukota kecamatan yang baru. Dua tahun ia mengabdi. Sama seperti
sebelumnya, ia juga menjadi guru ngaji dan khatib shalat jum’at.
setelah beberapa kali pindah tempat tugas di kabupaten
yang sama, 12 Tahun lalu Dia kembali ke kota. Memboyong anak dan
istrinya, memulai hidup yangbaru yang tetap tidak mudah. Tempat tugas yang baru
cukup jauh dari rumah, dia yang masih hidup dengan sederhana tidak punya cukup
uang untuk membeli sebuah motor. Setiap minggu sore ia mengayuh sepeda menuju
tempat tugas, menginap, dan kembali di hari rabu. Dia benar-benar pahlawan.
Di sini ia membangun istana mungilnya. Sebuah rumah yang luasnya
tidak lebih dari dua puluh meter persegi harus ditempatinya berserta istri dan
tiga anaknya.
Setahun pindah, ia akhirnya memperoleh rezeki untuk membeli
sebuah sepeda motor. Astria Prima keluaran tahun Sembilan pulahan menjadi tunggangannyaa.
Ia sangat bangga, motor yang dipakainya adalah hasil jerih payahnya mengajar.
Tak berselang lama, Tuhan membalas pengabdiannya selama ini.
Ia ditawari pemerintah melanjutkan kuliah S1
melalui program persamaan. Sabtu dan minggu ia kuliah sedangkan hari
lainnya tetap mengajar.
Saat kuliahpun ia tietap dikenal sebagai seorang yang
sederhana. Bagaimana tidak, walaupun ia seorang guru ia tidak pernah malu
membawa bekal makanan dari rumah. Ia juga tidak pernah memakaibaju yang
istimewa. Hanya tiga buah kemeja yang menjadi andalannya. Sebuah sepatu karet
senantiasa pula menemaninya. Ia seorang guru yang bersahaja.
Hal yang paling mengejutkannya adalah saat mengetahui bahwa
salah satu murid yang pernah diajarkannya mengaji dulu kini adalah dosennya. Ia
sama sekali tidak malu diajari muridnya, bahkan ia tersenyum bangga. Statusnya
sebagai seorang guru sama sekali tidak membuat dirinya angkuh dan meremehkan
muridnya. Ia memperlakukan muridnyanya itu sama seperti dosennya yang lain.
Empat tahun lalu, dia lolos kualifikasi sebagai kepala
sekolah. Pintu harapan terbuka, namun perjuangan belum berakhir. Ia dipilih
memimpin sebuah Sekolah yang cukup terpencil. Jaraknya hanya satu jam ke
ibukota provinsi, namun ia harus menhadapi tantangan yang sama dengan tantangan
yang dihadapinya sepuluh tahun yang lalu.
Namun jiwanya yang seorang pendidik tetaplah seorang
pendidik. Semangatnya tidak pernah mati, jiwa pengabdiannya tetap membara.
Semua dihadapinya dengan ikhlas dan sabar. Terbukti, empat tahun dipimpinnya,
sekolah itu kian membaik keadaannya.
Dialah yang kini ada
di depanku. Seorang tua dengan rambutnya yang mulai beruban. Seorang tua yang
telah meallui sekian banyak petualangan dalam misinya sebagai seorang pendidik.
Dia itu bapakku, seorang guru, seorang pahlawan bagiku.
Ia tak punya murid yang sehebat laskar pelangi, dan ia bukan
satu-satunya guru dengan pengabdian yang luar biasa. Ia hanya satu dari banyak
guru dengan pengabdian yang sama. Tapi bagiku, dialah sang pengabdi, guru nomor
satu di Republik Indonesia.
2 Komendang:
nice post :)
ditunggu kunjungan baliknya yaah ,
mantap!! cerita yang inspiratif
mampir ya ke blog gue
Posting Komentar