Jogjakarta,
kota istimewa dengan kamu yang istimewa.
“Bolehkah aku menjadi
bintang di hatimu?”. Kamu mengangguk. Ini malam yang menyenangkan di bukit
bintang. Cahaya bertaburan di langit dan di bumi, ribuan bintang memamerkan
cahaya bersaing dengan lampu jalanan jogja yang kemilauan.
Seminggu lalu kita
berjumpa di Malioboro yang panas. Kamu adalah seorang gadis yang belanjaanya
terjatuh dan aku adalah orang yang membantu membereskannya. Seperti di FTV
saja, tangan kita bersentuhan lalu saling berpandangan. Aku tersenyum dan kamu
tersenyum.
“Aku Giar,”. “Aku Asa”.
Dari sanalah semua bermula, lalu kita berjalan bersama menyusuri trotoar di
bawah matahari kota jogja.
Dua hari kemudian kita
berjanji untuk bertemu di Vito Cafe. Saat aku datang kamu telah menungguku
disana.
“Aku telat ya?,” Tanyaku
kemudian duduk di kursi kosong di depanmu. Kamu mengenakan gaun merah dan aku
dengan kemeja hitamku, matching
dengan warna hitam dan merah yang mendominasi Vito Cafe.
“Tidak, akunya aja yang
datang kecepetan. Mungkin terlalu bersemangat ingin bertemu kamu,”. Kalimat ini
bahkan sudah cukup mampu membuat aku ingi meloncat kegirangan.
“Ah kamu bisa saja,
kelihatan sekali gombalnya. Padahal kita baru kenalan lo,”. Ujarku seolah-olah
aku tidak terkejut dengan kalimat yang kamu ucapkan tadi.
“Memangnya cinta kenal
waktu?,” kamu menyerang jantungku sekali lagi. Jantungku berdegub kencang.
Seorang pelayan datang dengan secangkir Hot Chocolate dan secangkir Vito Cofe
Ice.
“Oh ya, maaf tadi aku
pesan juga untuk kamu. Semoga kamu suka pilihanku.”. ternyata kamu memesankan Vito Coffe Ice untukku. Sedotan
pertama, rasanya manis, sejuk, dan lembut, seperti cinta yang datang tiba-tiba
bertepatan dengan kesiapan hati menerimanya.
“Aku rasa pilihanmu
tepat, aku suka ini,” kataku yang kamu balas dengan senyuman manis.
“Pilihanku selalu
tepat, termasuk saat aku memilihmu,”.
Entah mengapa kamu begitu terbuka tentang perasaanmu, tidak seperti
wanita yang lain yang menganggap bahwa mengungkapkan perasaa adalah hak
laki-laki. Kalau itu benar kasihan RA. Kartini yang memperjuangkan emansipasi.
“Kamu wanita yang
cantik dan baik, aku juga menyukaimu. Tapi kurasa ini bukan waktu yang tepat.
Terlalu tergesa-gesa. Jangan sampai ada penyesalan di antara kita. Ya, aku juga
merasakan hal yang sama denganmu tapi aku memilih untuk menunggu waktu yang
tepat. Untuk sekarang cukup kita saling tahu,”
“Baiklah Giar, aku rasa
pendapatmu ada benarnya,” Kamu tersenyum lagi, aku bahkan bosan untuk
menuliskan kata “senyum yang manis” karena ini sudah kesekian kalinya jantungku
seolah-olah tiba-tiba berhenti berdetak saat kamu tersenyum.
“Kamu manis,” godaku
sambil kembali menikmati Vito Coffe yang tinggal setengah.
“Juga ceroboh,
menjatuhkan belanjaan ditengah keramaian orang,” katamu mengingatkanku pada
kejadian dua hari sebelumnya.
“Bila kamu tidak
ceroboh mungkin kita tidak akan bertemu lagi malam ini,” .
“Kamu benar,”
Bukit
Bintang, 20 Km dari Jogjakarta. Tempat yang katanya romantis.
“Bolehkah aku menjadi
bintang di hatimu?”. Kamu mengangguk.
Lihatlah! Jutaan bintang berkerlip menjadi saksi saat cinta kita
bersatu. Lihat pula di bawah sana, di Malioboro kita bertemu tanpa pernah tahu
rencana Tuhan untuk menautkan hati dan hati hingga kita memutuskan untuk saling
memiliki. Malam ini.
3 Komendang:
keren mon tulisannya :))
ini review buku bukan mon? sory gambarnya gag kebuka nih inet lagi jelek.
bagus ceritanya, lanjutin dooonggg,, salam kenal ^^
Posting Komentar