Awan kelabu bergelayut di langit sorong. Cahaya matahari hanya tinggal 5 watt saja. Kemerdekaan tengah di rayakan, namun aku khawatir alam tengah menunjukkan matinya harapan.
Sang Saka Merah Putih merangkak naik, sepuluh anak papua berbaris mengelilinginya dengan posisi hormat.
Pikiranku mengawang awang, ada sesuatu yang mengganjal. Keraguan.
Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku
Sang Saka Merah Putih merangkak naik, sepuluh anak papua berbaris mengelilinginya dengan posisi hormat.
Pikiranku mengawang awang, ada sesuatu yang mengganjal. Keraguan.
Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku
Angin menderu, langit kelabu. Aku berdiri di bawah cahaya
matahari lima watt. Di sini, di negeri yang kusebut Indonesia.
‘Tenanglah nak, sebentar lagi kita merdeka. Kita akan bebas
nak. Lihatlah di atap rumah kita! Bintang kejora berkibar-kibar,” Bapak menepuk
pundakku, aku membaca harapan yang menggebu-gebu dari sorot matanya.
“Aku suka merah putih,”
“Merah putih itu hanya symbol nak. Mereka bilang merah itu
berani, tapi mereka takut pada negeri tetangga. Mereka bilang putih itu suci,
tapi Kitab Suci saja dikorupsi,”. Bapak semakin berapi-api. Aku hanya terdiam.
Indonesia kebangsaanku
Bangsa dan Tanah Airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu
Bangsa dan Tanah Airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu
Angin masih menderu, langit masih kelabu. Aku berdiri di bawah cahaya matahari lima watt. Di sini, di negeri yang kusebut Indonesia.
“Kita bangsa papua, hanya
punya satu tanah air, tanah air
Papua,”
“Tapi Indonesia yang memerdekakan kita pak,” Bantahku
“Bukan memerdekakan nak, ini semua permainan politik. Mereka
merebut papua hanya untuk menguasai emasnya saja. Lihatlah, negeri mereka kaya
raya sedangkan kita miskin dan menderita,”. Aku tak dapat berkata apa-apa,
bapak mencoba merangkulku, bintang kejora semakin berkibar.
“Kita kuat kalau kita bersatu pak. Guruku bilang begitu. Memisahkan
diri membuat kita lemah,”
“Pasti gurumu yang dari jawa itu telah meracuni otakmu.
Mereka pembohong. Kalau bapak pandai membaca, tak kusekolahkan kamu di sekolah
merah putih. Biar bapak ajari sendiri di rumah,” Orasi bapak semakin menjadi
jadi. Aku rasa seperti inilah orasi Bung Tomo membangkitkan semangat pejuang
mengusir Belanda dari Surabaya.
“apa artinya bersatu, kalau kita tidak dapat apa-apa. Hanya penderitaan,
itu saja,” Tambahnya lagi meyakinkanku.
Hiduplah tanahku
Hiduplah negriku
Bangsaku Rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya
Angin tetap menderu, langit tetap kelabu. Aku berdiri di bawah cahaya matahari
lima watt. Aku mulai ragu menyebut tempat ini Indonesia.
Lima hari berlalu sejak bapak pergi berjuang. Entah siapa
yang dilawan, aku tak tahu. Tak ada penjajah di sini, musuh bapak adalah “bangsa sendiri”.
Hari ini bapak pulang, tapi tak membawa nyawanya. “Di tembak
polisi,” hanya itu kata yang keluar dari pamanku. Ibuku menangis, tapi aku
tidak.
Bapakku mati, dia benar-benar bukan Indonesia. Karena lagu
Indonesia raya mengajarkanku Indonesia itu hidup, tidak mati.
Bapakku bukan Indonesia, mungkin aku juga.
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya
Angin terus menderu,
langit makin kelabu. Aku berdiri di
bawah cahaya matahari lima watt. Di sini, entahlah apa nama negerinya.
Bendera merah putih berkibar di tiang bambu setinggi 4
meter. Tiga orang temanku menghormat lalu berbalik meninggalkannya .
membiarkannya tertiup angin.
Untuk sementara biarlah aku menjadi Indonesia. Bila tetap begini, aku berjanji
akan menyusul bapak menjadi Kejora.
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya
Lagu itu masih terdengar di kepalaku.
Flashfiction ini diikutsertakan dalam proyek Nulis Bareng Peduli Bareng 67 Cerita Untuk Indonesia
4 Komendang:
Aku suka pengulangan yang runtut seperti ini. Mengulang tapi menyampaikan pesan yang semakin dalam. Sehingga pesan yang ingin disampaikan itu benar-benar dapat dirasakan.
Satu lagi, aku hanya mau saran. Tulisan yang bagus seperti ini, aku rasa, akan lebih baik kalau kamu memerhatikan EYD, bang. ^_^
Wih, pesan yang disampaikan lewat FF ini keren. Keren banget broh!
Tapi ada beberapa hal yang menurut Gue mengganggu sih. Seperti yg Basith bilang, EYD diperhatikan.
Dan apa maksud penggalan2 lagu Indonesia Raya? Tadi gue pikir ini kejadiannya sambil ada musik Indonesia Raya berkumandang di lokasi kejadian. Tapi, kok sampe lima hari kemudian masih terus lanjut lagunya. Jadi, Gue ngga nemu keterhubungannya denganisi cerita, dengan kata lain belom kawin dengan isinya.
"Aku berdiri di bawah cahaya matahari lima watt", Gue bayangin ini sebagai langit senja, tapi sepertinya bukan itu yang kamu maksud. Tapi, apapun itu Gue rasa kiasan puitis ini kurang nge-hook ke pemahaman pembaca langsung, jadi nanti bisa bikin misunderstanding. Kenapa ngga pake bahasa yg lebih sederhana mengingat isi cerita ini juga sederhana dan pembacanya juga pasti dari berbagai umur dan kalangan.
Oke deh itu aja... Btw, maap komentarnya panjang... Kebiasaan Gue di web penulis fiksi, kalo komentar suka panjang lebar dan pedas... harap maklum, jangan tersinggung yah... ^_^
Keep nulis Mamon!!
isi cerita udah bagus kak, tapi setuju sama dua komen di atas, EYD harus diperhatikan.
suka kalimat ini kak: Mereka bilang merah itu berani, tapi mereka takut pada negeri tetangga. Mereka bilang putih itu suci, tapi Kitab Suci saja dikorupsi :)
bagus... :) pemilihn topik yg lg hangat, bisa jd daya tarik dashyat. Akan tetapi, menulis dalam bentuk "FF" itu susah-susah gampang y... Penulis hrus sksama mmasukn ide ke dalam baris yg trbatas. Resikonya, tulisan bisa jd tanggung, bhsa kampong kte tu alang2lah...
Menulis itu pross pmbljran, seorang pnulis ya kerjaanny trus mnulis. Semngat! Ditunggu karya2 slnjutny... ^_^V
Posting Komentar