Minggu, 17 Februari 2013

Ruang Temu

Source

"Kamu cantik." . Ia hanya membalas kalimatku dengan seulas senyuman. Ini kesekian kalinya aku mengulang kalimat yang sama. Jantungku berdegub kencang, tak seperti biasa.

Aku mengalihkan pandangan ke penjuru ruangan, sebuah kafe mungil dengan desain klasik yang menenangkan. Hanya ada sekitar 30 kursi di sini, semua penuh terisi. Di dinding merah foto-foto pemandangan kehidupan Paris di tahun 1950-an tertata apik. kabarnya semua foto itu adalah karya karya fotografer Robert Doisneau. Doisneau dikenal lewat foto The Kiss yang menampilkan dua sejoli sedang berciuman di antara kesibukan jalan di kota mode Paris. Manis sekali seperti sarikaya yang perlahan-lahan meleleh dari dua tangkup roti, kaya toast, menu paling favorit di sini.

Source

"Kok diam lagi?,". Terkejut aku dibuatnya, aku kembali memusatkan perhatianku padanya berusaha bertingkah senormal mungkin.
"Tempat ini menenangkan," Aku mencoba mencairkan suasana. ya, ini pertama kali kami berjumpa setelah sekian lama menjalin hubungan jarak jauh. Bagaimana bisa? Salahkan saja jejaring sosial yang mempertemukan kami.
"Mungkin karena tempatnya yang kecil, pengunjungnya tidak terlalu ramai,"
"Semua orang pasti bahagia berada di sini,"
"Kamu bahagia?"
"Pasti, berada di sini begitu nyaman. Bersamamu pula,"
"Gombal, penyakit pria nomor 365"
"Nomor 366nya?,"
"Suka ngasih harapan palsu, hahahaha," tawanya pecah memenuhi ruangan, tak ada yang memandangi kami dengan pandangan yang aneh. Di sini semua pengunjung terasa begitu dekat, semua merasa dirinya sedang berada di rumah sendiri. Bahkan sejak tadi sekelompok muda-mudi asik cekikikan membicarakan minggu ujian yang baru saja di lewati. 
"Aku enggak begitu lho,"
"Yakin? gak percaya ," ia memasang wajah manyun, lucu sekali.
"Kamu pikir untuk apa aku datang jauh-jauh ke sini untuk menemuimu selain membuktikan kesungguhan?,"
"Iya, iya aku percaya, Jadi kapan kamu kembali ke Pontianak?,"
"Besok" Aku kembali mengalihkan pandangan ke dinding, Foto soekarno seolah menatapku dengan tajam. perasaanku saja mungkin. Aku juga ingin lebih lama bersamanya.
"Baiklah, Kutunggu kamu lagi,". Terdengar menyenangkan, namun pahit menyadari bahwa dalam kalimat itu tersimpan sebuah harapan. Harapan yang enta kapan akan terkabulkan (lagi). Giliranku yang membalasnya dengan senyum.
"Kamu cantik sekali"
"Iya, aku tahu. kamu sudah mengulang kalimat itu 4 kali,". Kami menutup pertemuan dengan tawa yang hangat. Aku berharap ini akan terulang lagi, entah kapan.