Kapuas
Derik
suara papan gertak yang mulai rapuh membuyarkan lamunanku. Sudah tiga
jam aku duduk sendiri di dermaga, menunggu ikan menyambar umpan
pancingku. sementara itu anganku terbang jauh berputar-putar lalu masuk
ke mesin waktu menuju masa lalu.
Malam itu saat bulan purnama
bertengger megah di langit Pontianak. Kau dan aku duduk berdua di atas
perahu yang tertambat di dermaga. Sesekali kau menjentikkan jari
menciptakan riak-riak kecil di air kapuas yang tenang, Di seberang sana
ribuan lampion bercahaya bagai seribu kunang-kunang. Sebentar lagi imlek
akan tiba.
Tak ada sebait katapun yang keluar dari mulut kita,
hanya diam, hanya diam. Sesekali kau merapikan rambutmu yang sebenarnya
masih rapi. Bola matamu kau edarkan untuk mengamati perahu-perahu
nelayan yang hendak berangkat ke laut. Angin dingin bertiup menusuk,
tapi disisimu aku tak merasa sejuk.
"Kapan kau akan pulang?," Aku memberanikan diri untuk bertanya. Tidak baik rasanya berdiam-diam saja.
"Besok" Jawabmu singkat. Sebenarnya aku tak perlu bertanya begitu,
karena malam sebelumnya kau telah mengirim pesan yang isinya demikian.
Aku tak mampu menerima kenyataan, tapi dihadapanmu aku berusaha tegar.
Kalaupun aku menangis, apa kata penunggu kapuas nanti. Seorang bujang
tak boleh menangis.
Jogjakarta, kota tempat kau mengejar
mimpi-mimpimu. Kota yang sering kau sebut-sebut dalam berbagai
percakapan hangat yang pernah kita memiliki. Kau bercerita tentang
malioboro dan angkringan yang berjejer di sisi-sisinya. Sedangkan kita
waktu itu duduk di kedai kopi jalan gajahmada. Kau juga pernah bercerita
tentang tugu jogja yang gambarnya ada di baju-baju kaos buah tangan
jogja. sedangkan kita tengah di tugu khatulistiwa saat kau bercerita.
Ah kau, ari-arimu terkubur di sini, kelak di sini kau akan kembali. Entah kapan, aku juga tak sanggup menebak.
Kau merapatkan jaketmu, sedangkan aku harus menahan dingin yang kian menusuk. Sementara rinduku, akan segera membusuk.
19-01-14/21:14
0 Komendang:
Posting Komentar