Rabu, 16 September 2015

Dia yang Duduk di Tepi Kapuas

itu adalah suatu malam yang hening di tepian kapuas. matanya lekat memandang langit malam denngan jutaan cahaya bintang. bibirnya komat-kamit seperti merafal mantra, atau entah menyebut sebuah nama.
ia duduk di gertak kayu yang sudah begitu tua, sesekali ombak air membuat gertak terasa bergetar. pikirannya melayang entah kemana, di matanya hanya terlihat seulas wajah, wajah yang terus menghantui malam-malamnya.
sudah setahun terakhir ia berulah demikian. teman-teman sebayanya, bapak-bapak yang nongkrong di warung kopi di dekat dermaga, juga ibu-ibu yang mencuci pakaian di lanting-lanting kecil, selalu menempelkan telunjuk yang dimiringkan di jidat setiap kali melihatnya.
usianya baru 22, baru terlepas dari masa remaja. hanya sekali jatuh cinta, dan ittu sudah cukup membuat hatinya merana demikian rupa`
suatu waktu satu tahun yang lalu ketika ia mengantar ikan pesanan pelanggannya yang punya rumah makan di persimpangan sana, ia berjumpa dengan wanita itu, wanita dengan bola mata yang mempesona, juga senyum yang mampu mendobrak jiwanya.
lalu perasaan itu membuat ia tak enak makan tak nyenyak tidur. tak ada pesananpun ia senantiasa datang ke rumah makan itu, pura-pura bertanya atau iseng membantu mencuci piring sambil curi-curi pandang barang sekejap dua kejap.
hanya tiga bulan saja, maka mendung sempurna menghiasi wajahnya. wanita itu, wanita yang dikaguminya diam-diam dilamar seorang juragan beras dari ibu kota, pria tua dengan kacamata dan giginya yang tinggal dua saja. ah, mengingatkan pada siti nurbaya saja.
tapi berbeda dengan siti nurbaya, sang wanita dengan senang menrima pinangan sang kakek yang sudah layak menyiapkan kafan itu. bagaimana tidak, dalam dua hari saja sang kakek sudah membuat ia harus berjalan terbungkuk-bungkuk karena beratnya kalung yang ia pakai.


sang pria bisa apa? hanya bisa menyesali kehidupan. bertanya kepada Tuhan kenapa hidup tak adil kepada orang miskin?.
orang tuanya berkali-kali berupaya mengobati anaknya. berbagai cara dilakukan, mulai dari mendatangkan tabib hingga menjodohkannya dengan kembang kampung yang cantik jelita. Tapi yang namanya cinta sungguh aneh rasanya, ini bukan urusan cantik atau tidak. kalau hati tak bergetar, ya sudah biasa saja.
dua hari yang lalu, ia melihat wanita di rumah makan ibunya, menggendong bayi mungil yang jelita, bayi mungil dengan bola mata yang sama dengan ibunya. Suaminya yang tua bangka itu baru saja meninggal dunia, sedang hartanya yang katanya banyak itu sungguh hanya fatamorgana. hanya dalam hitungan hari, anak-anak dari istri-istri sebelumnya berdatangan saling berebut jatah warisan. sang wanita yang tak betah terlibat dalam pertengkaran memilih pulang.
gertak kembali bergetar oleh ombak kapal motor yang lewat, matanya menerawang. Apakah ini yang disebut kesempatan kedua?
___
ide awalnya adalah "pemuda galau di tepi kapuas". lalu cerita ini mengalir begitu saja

0 Komendang: