Senin, 12 November 2012

BAPAKKU SEORANG GURU


Keluarga gue adalah keluarga yang sederhana, gaji bokap sebagai PNS bahkan kadang gak cukup buat makan satu bulan. Sejak kecil gue terbiasa dengan keterbatasan. Inilah yang menjadikan gue semangat untuk mengejar mimpi gue. Gue gak boleh tetap dalam kekurangan, gue harus maju dan mampu berarti bagi orang banyak. Gue punya mimpi untuk menjadi berarti bagi mereka yang kekurangan.
Dua puluh lima tahun yang lalu bokap ditugaskan untuk mengajar di Kabupaten Kapuas Hulu, sebuah kabupaten yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Sejak kecil bokap bercita-cita jadi guru, tugas yang berat itu diterimanya dengan ikhlas. Dengan semangat pengabdian beliau berangkat ke tempat tugas dengan menumpang perahu dagang yang menuju Kapuas Hulu. Di tahun 80-an transportasi air memang menjadi andalan di Kalimantan Barat, jalan darat masih berupa jalan-jalan tikus yang tidak saling terhubung antar satu kabupaten ke kabupaten lain. Perjalanan melalui jalur air juga tidak singkat, butuh dua minggu untuk sampai ke ibukota kecamatan tempat bertugas. Dari ibukota kecamatan, bokap yang katanya waktu itu masih ganteng, harus menempuh beberapa jam lagi untuk sampai ke tempat ia ditugaskan, sebuah kampung bernama Nanga Ret.
Di Nanga Ret bokap mengenal nyokap gue dan akhirnya menikah. di sini pula abang gue lahir. Bokap yang ditugaskan menjadi Guru Pendidikan Agama Islam tidak hanya mengajar di sekolah saja. Setiap sore sehabis ashar bokap juga menjadi guru mengaji bagi beberapa anak di kampung.
Nyokap juga pernah cerita kalau dulu nyokap ngajinya juga belum lancar. Setiap malam bokap selalu meluangkan waktu buat mengajari nyokap mengaji. Kalau ibunya tidak pandai  mengaji bagaimana anaknya pintar mengaji? Begitu katanya.
Dua tahun di tempat tugas pertama ia akhirnya memutuskan pindah ke sekolah lain. Jangan salah, ia sama sekali tidak melupakan tekad pengabdiannya. Ia tidak memilih sekolah yang lebih dekat ke kecamatan, malah lebih jauh dan lebih terpencil. Di sini bokap dan nyokap benar benar asing. Bila di tempat sebelumnya masih banyak sanak saudara dari nyokap, di sini tidak ada sama sekali.
Di tempat yang baru bokap tetap menjadi guru mengaji. Karena kampung yang baru lebih luas dari sebelumnya, murid mengajinya lebih ramai dari sebelumnya. tak ada jeda sedikitpun untuknya istirahat. Namun ia bahagia, karena ini adalah cita-citanya.
Sri Wangi, di sanalah gue lahir. Gue yang sejak dalam perut di prediksi dukun beranak sebagai seorang cewek terlahir sebagai seorang cowok. Gue menjadi penghuni baru bagi rumah dinas guru yang berukuran empat kali lima meter yang kami diami.
Bokap sering banget bawa gue ke sekolah. Gue yang waktu itu masih bayi digendongnya ke sekolah dengan kain dan terus digendong sambil mengajar. Kata nyokap dari empat bersaudara, gue yang paling sering di gendong bokap. Sampai umur 6 tahun gue masih digendong bokap setiap pulang dari rumah tetangga buat menonton televisi.
Bokap  adalah seorang yang sederhana. Bagaimana tidak, sepanjang menjadi guru ia hanya menerima gaji lima puluh ribu sebulannya. Kalau sekarang uang sebanyak itu Cuma cukup buat gue jajan tiga hari doang. Setelah gue lahir, kebutuhannya kian meningkat. Ini memaksanya berpikir keras agar kebutuhan keluarganya tercukupi. Jika keputusannya adalah berhemat, penghematan apalagi yang harus ia lakukan. Bahkan sejak menjadi guru ia tak pernah membeli baju baru. Ia mengajar hanya dengan sebuah kemeja lusuh dengan logo PGRI yang sudah tidak jelas. Murid-muridnya bahkan mungkin bosan melihat bajunya ini. Setelah ditimbangnya masak-masak, ia akhirnya memutuskan ikut menjadi kuli pemikul kayu. Pekerjaan yang dilakukannya setiap hari minggu tiba.
Jangan mengira bahwa kayu kayu yang diangkutnya adalah kayu kayu kecil yang beratnya sama dengan sekarung beras. Kayu kayu yang diangkutnya adalah kayu kayu raksasa berdiameter hampir satu meter dan beratnya lebih dari tiga kali berat dirinya. Ia sama sekali tidak punya otot seperti Ade Rai. tubuhnya pendek, bahkan perutnya buncit. Namun ia sama sekali tidak mengeluh, demi keluarga katanya.
Perjalanan yang cukup jauh dari tengah belantara ke kampung membuatnya tiba di rumah pukul Sembilan malam. Itupun jika tidak ada halangan. Ia tidak langsung istirahat,  masih disempatkannya bercanda dengan anaknya walaupun tubuhnya  terasa remuk setelah berkerja seharian.
Tubuhnya yang masih terasa pegal sama sekali tidak membuatnya terlambat datang ke sekolah. Hari senin memang tak ada mata pelajaran pendidikan agama islam, tapi akibat kekurangan tenaga guru, mata pelajaran lain pun di ajarkannya. Walaupun mata pelajaran yang dipegangnya tidak sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya ia tidak pernah menolak. Setiap malam ia selalu membuka buku pegangan guru untuk mempersipakan materi yang akan diajarkan esok harinya. Walaupun mata pelajaran itu bukan keahliannya, ia tak mau menyesatkan muridnya katanya.
Tidak hanya sebatas itu. bila ada salah satu guru yang sakit dan tidak bisa mengajar ia terkadang harus mengajar rangkap kelas. Dua kelas diajarkannya sendiri, bolak balik ia di dua kelas.
Bokap sering menggantikan temannya yang sakit, tapi bila ia yang sakit ia tetap mengajar. Pernah suatu ketika penyakitnya benar-benar parah, bahkan untuk duduk saja tidak mampu. Namun ia tetap memaksa untuk tetap mengajar. Maka dengan berat hati nyokap memapahnya ke sekolah.
Di Sri Wangi pula adik gue, muslim, lahir. Setelah sekian lama menjadi kuli pemikul kayu, akhirnya bokap dan nyokap membuat sebuah warung kecil. Pilihannya kali ini sama  sekali tidak membuat pekerjaannya ringan. Setiap minggu ia harus berjalan kaki berpuluh puluh kilometer untuk membeli barang dagangan untuk dijual kembali dengan untung yang tidak besar. Berangkat shubuh dan pulang di waktu senja adalah rutinitasnya setiap hari minggu, berates ratus kilo barang dipanggulnya. tapi percayalah, ia bukan pedagang, ia masih seorang guru.
Bokap pernah membeli sebuah sepeda motor. . Ia tak pernah mengemudikannya. Sejak dibeli sampai kemudian dijual, motor itu disewakannya pada seorang teman untuk mengojek. “untuk apa saya motor? Pekerjaan saya hanya mengajar. Jalan kaki tak sampai tiga menit dari rumah,” ujarnya sambil  tersenyum. Bokap bisa saja menjadi tukang ojek dengan motor barunya. Tapi konsekuaensinya ia harus sering bolos mengajar, dan niat itu tidak sama sekali terbersit dalam benaknya.
Setelah sekian banyak murid dididiknya, akhirnya beberapa tahun kemudian ia kembali dimutasi ke kampung lain. Kampung yang memang lebih dekat dengan ibukota kecamatan yang baru. Dua tahun ia mengabdi. Sama seperti sebelumnya, ia juga menjadi guru ngaji dan khatib shalat jum’at.
setelah beberapa kali pindah tempat tugas di kabupaten yang  sama, 12 Tahun lalu kami sekeluarga pindah ke Pontianak kembali ke kota. Di sini akhirnya bokap membangun istana mungil untuk kami berlima, waktu itu adik gue yang terkecil belum lahir. Tempat tugas bokap yang baru cukup jauh dari rumah, bokap yang masih hidup dengan sederhana tidak punya cukup uang untuk membeli sebuah motor. Setiap minggu sore ia mengayuh sepeda menuju tempat tugas, menginap, dan kembali di hari rabu.
Setahun pindah, ia akhirnya memperoleh rezeki untuk membeli sebuah sepeda motor. Astria Prima keluaran tahun Sembilan puluhan menjadi tunggangannyaa. Ia sangat bangga, motor yang dipakainya adalah hasil jerih payahnya mengajar.
Tak berselang lama, Tuhan membalas pengabdiannya selama ini. Bokap berkesempatan melanjutkan  kuliah S1  melalui program persamaan. Sabtu dan minggu ia kuliah sedangkan hari lainnya tetap mengajar.
Saat kuliahpun bokap tetap dikenal sebagai seorang yang sederhana. Bagaimana tidak, walaupun ia seorang guru ia tidak pernah malu membawa bekal makanan dari rumah. Ia juga tidak pernah memakai baju yang istimewa. Hanya tiga buah kemeja yang menjadi andalannya. Sebuah sepatu karet senantiasa pula menemaninya. Ia seorang guru yang bersahaja.
Empat tahun lalu, dia lolos kualifikasi sebagai kepala sekolah. Pintu harapan terbuka, namun perjuangan belum berakhir. Ia dipilih memimpin sebuah Sekolah yang cukup terpencil. Jaraknya hanya satu jam ke ibukota provinsi, namun ia harus menhadapi tantangan yang sama dengan tantangan yang dihadapinya sepuluh tahun yang lalu.
Namun jiwanya yang seorang pendidik tetaplah seorang pendidik. Semangatnya tidak pernah mati, jiwa pengabdiannya tetap membara. Semua dihadapinya dengan ikhlas dan sabar. Terbukti, empat tahun dipimpinnya, sekolah itu kian membaik keadaannya.
Gue gak peduli kalau Andrea Hirata bilang Bokapnya adalah bokap nomor satu di seluruh dunia, bagi gue Bokap gue adalah Bokap yang Ternomor satu di seluruh dunia. Bokap emang sering ngomel, dan kadang gue emang kesal. Tapi gue  yakin semua itu buat kebaikan gue.
Gue percaya bahwa bentuk dari cinta yang sebenarnya adalah kepedulian. Bokap adalah orang yang paling peduli yang pernah gue kenal. Pengabdian beliau menunjukan beliau peduli akan masa depan anak bangsa. Itu berarti bokap mencintai bangsanya. Bokap ngegendong gue ketika pulang nonton TV di rumah tetangga karena kaki gue sering digigit semut api kalau jalan sendiri menunjukkan bahwa bokap peduli sama gue, bokap sayang sama gue.
Itulah kenapa ketika bokap mengarahkan gue ke jurusan guru gue manut dengan kehendaknya, karena gue percaya bokap mau yang baik buat gue. 

2 Komendang:

Honey BALAS MON!!! mengatakan...

wah pernah tinggal di Kalimantan Mon?

Mamon BALAS MON!!! mengatakan...

@Honeylizious Rohani Syawaliah ampe sekarang kali kak :|