Selasa, 24 Januari 2012

PERGI


Pagi itu sang rembulan belum beranjak pergi. Namun sang mentari pagi telah tak sabar menanti. Memeluk dunia dengan hangatnya serta menghias lelangitan dunia dengan hias binar cahyanya. Cicit burung- burung kecil di pepucukan cemara menambah semarak pagi gembira. Begitu damai kurasa pagi itu, apa lagi hari ini aku akan bertemu dengan orang yang kucintai. Namanya Iin, dia temanku di SMP dulu. Walau telah berpisah tapi kami tetap melakukan hubungan lewat handphone. Tak terasa tiga tahun sudah aku tak bertemu dengannya. Entah bagaimana rupanya aku tak sanggup lagi menggambarkannya. Sedikitpun tak ada gambaran dalam ingatanku akan rupa dirinya. Yang aku ingat hanya lesung pipit yang menghias kedua pipinya saat ia menebar senyum manis nan mempesona saat terakhir aku bertemu dengan dirinya.
Aku dan Dia- Sebuah Artwork dari masa lalu

“Min, kamu mau kemana, kok tumben tumbenan pagi-pagi begini udah rapi,” Mamaku heran melihat penampilanku pagi ini.
“Enggak kemana-mana kok ma, Cuma keluar sebentar,”
“Kok rapi amat sich, biasanya juga gak gini,”
“Kan boleh ma, sekali sekali rapi. Masak mo kumal mulu, kan gak enak dilihat orang,”
“Iya sich,Tapikan gak biasanya kamu serapi ini,”
“Emang salah, kalo aku berpenampilan berbeda seklai-sekali,”
“Ya enggak sich, dah deh kalo kayak gitu, mama malas berdebat ama kamu mending mama masak buat sarapan kamu,”
Pagi itu hawa terasa begitu dingin. Sweater yang kupakai tak mampu menahan hembusan angin yang terasa menusuk tulang. Awan tidak begitu tebal tapi entah mengapa pagi itu langit terlihat begitu gelap. Namun semua itu tak menghalangi langkahku tuk seger menemuinya. Lagian kalau tidak sekarang kapan lagi aku dapat menemuinya. Sebentar lagi ia akan melanjutkan studinya ke Amerika. Wlau berta kali ini aku harus kembali rela melepas kepergiannya. Lagi pula kepergiannya adalah untuk tujuan yang mulia, jadi aku tak boleh terlalu egois. Bukankah itu semua demi kebaikan dirinya. Jika aku ingin menjadi kekasih yang baik aku harus selalu memberi support kepadanya.

Tak terasa aku telah berdiri didepan rumahnya. Tiga tahun sudah aku tak mendatangi rumah ini. tidak banyak yang berubah. Semuanya hampir sama seperti yang dulu. Mungkin hanya ada sedikit renovasi di beberapa bagian. Namun semua perubahan itu tetap membuat rumah ini terlihat begitu megah.
“Ting Tong!!! ,” Kutekan bel rumah itu.
“Cari siapa nak?,” Terlihat seorang ibu-ibu membuka pintu yang tak lain adalah tante Titi ibunda Iin.
“Iinnya ada tante?,”
“Oh….Iinnya lagi tidur, maaf adik ini siapa ya?,”
“Saya Mimin tante, masak sih lupa ama saya,”
“O Mimin,abis kamu sih udah lama gak ke sini. Tante jadi lupa dech!!!.Emang ada hal penting yach yang mo di omongin ama Iin?,”
“Enggak kok tante, Mimin Cuma kangen aja udah lama gak ketemu dia,”
“O gitu, mending kamu bangunin aja sana!,”
“Gak enak ah tante, masak orang gi enak tidur dibangunin,”
“Enggak papa kok, lagian kalo enggak dibangunin biar nunggu ampe jam sembilan Iin juga gak bakalan bangun. Itung itung bikin kejutan lach,”
“Iya deh tante,” aku beranjak meninggalkan ibunda Iin. Walau sempat ragu namun kupastikan langkah kakiku menuju kamar Iin. Perlahan kubuka pintu kamar itu. kurasa ada hawa lain didalam kamar itu. kulihat ia masih asyik bermimpi dalam tidurnya. Rasanya kau tak sampai hati membangunkannya. Aku hanya dapat memandang wajahnya, tak ada yang berubah, rasanya baru beberapa hari saja aku tak menemuinya. Tak kuasa aku tuk membangunkannya. Aku tak ingin mengusik tidurnya’ lagi pula ia masih kelihatan letih setelah melakukan perjalanan panjang dari Jakarta. Perlahan kutinggalkan Iin. Sesekali kutolehkan wajahku kearahnya.
“Sayang mau kemana,”. Suara itu menegjutkanku. Ternyata Iin telah bangun dari tidurnya. Sambil mengucek ngucek matanya yang masih kantuk perlahan ia mendekati aku.
“Aku gak kemana-mana kok, Aku Cuma gak mo ngeganggu tidur kamu,”
“Enggak gannggu kok, Iin kan dah bangun dari tadi. Tadi pas Iin bangun Iin lihat Sayang mo masuk kamar Iin makanya Iin pura-pura tidur lagi,”
“Oh gitu, ya udah dech Iin yang manis cuci muka dulu yach! Entar baru kita ngobrol ngobrol,”
“Iya Dech ,”Iin beranjak meninggalkanku masuk kedalam kamar mandi. Aku hanya dapat mendengar percikan air perlahan kudengar lantunan sebuah lagu yang keluar dari mulut Iin. lagu yang berjudul Tinggal Kenangan itu terasa begitu menyentu hatiku. Bila kuingat ia akan kepergiannya, aku merasa ingin menangis. Namun sekali lagi aku mecoba tegar, karena aku sadar bahwa setiap ada kepergian pasti akan ada kepulangan. Dan aku yakin suatu hari nanti jiak ia memang tercipta untukku ia pasti akan kembali bersamaku. Diluar hujan turun begitu deras. Rintik rintik hujan itu bagaikan mewakili perasaan hatiku saat ini yang sedih ini.
“Sayang kok cemberut sich, lagi sakit ya?,”
“Engga’ kok in, Mimin Cuma sedih kalo inget Iin bakal ninggalin mimin lagi,”
“Kok sedih sih, Iin kan pergi buat belajar. Lagian Iin bakal tetap berkomunikasi kok ama Mimin. Jauh kan bukan halangan buat mencinta,”
“Iin benar, Mimin begini bukan karena gak senang ama kepergia Iin, Mimin tu dukung banget keputusan Iin buat ngelanjutin studi di USA, tapi Mimin hanya gak sanggu p kalo harus kesepian tanpa Iin,”
“Inget Min, didunia ini yang sayang ama Mimin bukan hanya Iin. masih banyak yang lain yang merhatiin Mimin. Jadi kepergian Iin bukan berarti kesedihan Mimin. berjuanglah untuk mereka. Jadilah Mimin yang tegar seperti saat Iin tinggalkan dulu. Jadilah Mimin yang enggak cengeng en punya tekad baja buat bertahan!,”
“Kamu benar In, jika aku tetap begini aku gak akan pernah maju,”
“Nah, gitu dong. Berjuanglah untuk Iin. buktikan ama Iin bahwa Mimin bisa berprestasi dan sukur-sukur bisa ngelanjutin studi di Amrik, biar bisa deket lagi ama Iin,”
“Oke deh mulai sekrang Mimin janji bakal berjuang buat Iin. Ngomong-ngomong loe pernah gak liat pelangi yang lebih indah daripada pelangi itu?,”Tanyaku mengalihkan pembicaraan. Memang hujan sudah agak reda, pelangi indah itu seakan mengerti akan rasa hatiku yang mulai sedikit tenang. Perlahan ia memamerkan warna-warna indahnya.
“Mungkin bagi Iin ini pelangi terindah yang pernah Iin liat, kalo mimin ndiri gimana ?,”
“Kalo mimin sih merasa pelangi itu gak ada pa apanya jika dibandingkan pelangi yang pernah mimin liat,”
“Emang mimin liatnya diaman?,”
“Di mata Iin. asal Iin tahu, tiap mimin melihat kedalam mata Iin, Mimin bisa ngeliat pelangi penuh warna warni disana. Dan tiap mimin liat satu persatu warnanya Mimin dapat ngerasain kalo Iin tercipta untuk Mimin,”. Iin hanya terdiam mendengar kata kataku. Entah ia merasa tersanjung atau mungkin ia menganggap aku sama dengan cowok lain yang jago menggombali kekasihnya.
“Oh ya nie In, udah siang nich. Mimin  pulang dulu yach,”
“Iya dech, tapi besok kesini lagi ya!!,”
“Insya Allah kalo gak ada halangan,”
“Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikum sayang,”
* * *
Hari telah beranjak sore. Langit putih telah memerah, memantulkan kilau keemas emasan Matahari yang sekan meredup,”
“Kring…….Kring……Kring,” Handphoneku berbunyi
“Halo…..Asslamu’alaikum tante,” ternyata Ibunda Iin yang menelponku.
“Wa’alaikumsalam Min,”
“Ada apa Tante?,”
“Iin min, Iin!!!,”
“Ada apa dengan Iin Tante?,” aku mulai cemas.
“Iini kecelelakaan Min, tadi saat kamu pulang ia minta izin buat pergi ke Mall. Katanya sich mo beliin kenang-kenangan buat kamu. Tapi dalam perjalanan pulang ia mengalami kecelakaan. Dan….dan….nyawanya tidak tertolong,” cerita tante Titi sambil terisak isak.
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,”aku serasa tak sanggup menerima kenyataan ini. baru tadi pagi aku merasa sedih akan ditingglkannya pergi ke Amerika, sekarang ia harus meninggalkanku tuk selamanya. Sungguh berat aku menerimnya. Rasanya aku ingi segera menyusulnya. Begitu tante titi mematikan teleponnya aku segera beranjak pergi ke Rumah sakit tempat Iin berada. Ku pandangi wajah manisnya. Namun sungguh aneh, wajah itu seakan menabar senyum padaku. Terlihat jelas kedua lesung pipit menghias kedua belah pipinya. Perlahan kutinggalkan kamar tempat Iin berada. Aku tak sanggup lagi melihta wajahnya. Tak terasa air mataku menetes. Kurebahkan badanku di rerumputan di taman rumah sakit itu. kupandang bulan malam itu tidak begitu indah tertutup gumpalan awan. Sepertinya ia mengerti bahwa aku sedang berduka. Tiba tiba aku melihat wajah Iin jelas tergambar di rembulan itu. ia terlihat begitu cantik menebar senyuman manis. Dan yang lebih mengejutkan lagi ia mengucapkan sepatah kata yang pernah ia katakan.
“Inget Min, didunia ini yang sayang ama Mimin bukan hanya Iin. masih banyak yang lain yang merhatiin Mimin. Jadi kepergian Iin bukan berarti kesdihan Mimin. berjuanglah untuk mereka. Jadilah Mimin yang tegar seperti saat Iin tinggalkan dulu. Jadilah Mimin yang enggak cengeng dan punya tekad baja buat bertahan!,”
Aku kini mengerti, ternyata itu adalah kalimat terakhirnya. Seperti ia telah tahu bahwa ia akan pergi selamanya. Namun kini aku sadar bahwa masih banyak hal yang harus kulakukan. Menangis bukan cara untuk menyudahi sebuah kesedihan. Aku bertekad untuk berjunga deminya, demi Iin yang menyayangi aku dengan sepenuh hati. Aku juga bertekad akan berjuang meraih prestasi agar dapat melanjutkan studi di Amerika untuk melanjutkan cita-citanya yang belum tercapai.

*) Sebuah Cerpen, ditulis 23 Januari 2009

0 Komendang: