Selasa, 24 Januari 2012

MY FIRST LOVE

Prahara cinta monyet, mengesankan dan lucu. Tahukah kau kapan pertama kali aku mulai tertarik dengan seorang wanita? Ketika berumur 4 tahun. Lucu, lucu sekali. Sampai sekarang aku tak habis pikir jika mengenangnya. 

Waktu itu, aku masih kecil. Sangat kecil. Aku masih lucu, ibuku bilang begitu. Ayahku yang seorang Pegawai Negeri saat itu bertugas di sebuah kampung kecil di ujung negeri borneo. Tepatnya di Desa Sri Wangi, sebuah desa di Kabupaten Kapuas Hulu. Sebuah negeri yang saat itu masih sangat tertingal. Delapan tahun ayahku terjebak di kampung ini, menjadi seorang pahlawan yang tanpa tanda jasa. 

Ayah yang seorang guru pendidikan agama islam tingkat sekolah dasar adalah penegak panji islam di kampung itu. Tak sedikit anak-anak dikampungku mengenal Al qur’an lewat ayahku. Beliau adalah khatib, dan imam jum’at di kampungku.  

Seperti pada umumnya, di kampungku juga ditempatkan seorang bidan desa, dari nun jauh di hilir sungai kapuas, sama seperti asal ayahku. Ia menyebut nama kampungnya Pontianak. Saat itu aku masih asing akan nama itu. Aku sangat senang padanya, hampir setiap hari aku bermain ke puskesmas tempat ia bertugas. Siapa namanya? Sampai sekarang aku tak tahu. 

Puskesmas di kampungku jarang ada pasiennya, mungkin orang-orang di sini terlalu sehat sehingga tidak ada seorangpun yang datang untuk berobat. Mereka terlalu sehat karena bagi mereka setiap hari adalah olahraga. Orang-orang di kampungku adalah orang-orang yang kuat, berjalan kaki berkilo-kilometer bukan menjadi beban bagi mereka. Mungkin itulah yang membuat tubuh mereka tidak rentan penyakit. Kalupun sakit, mereka segera memanfaatkan tumbuhan di sekitar untuk berobat. Ketika orang sakit mendekati mati, barulah seorang bidan atau dokter dibutuhkan.  Kegiatan rutin sang bidan adalah mengurusi Posyandu, walaupun tergolong terpencil ternyata ibu-ibu di kampungku juga sangat memperhatikan kesehatan putra-putrinya. 

Siang itu terik, aku yang masih bocah masih asyik bermain di sekitar puskesmas dengan sepeda roda empatku. Dua roda sepeda, dan dua roda penyanga agar sepedaku berdiri tegak. Saat itu, puskeasmas kosong, bu bidan sedang pulang ke kampungya yang bernama Pontianak itu. Ini adalah satu minggu setelah lebaran.
Dari jauh kulihat, sebuah sepeda motor mendekat. Sahabat ayahku yang juga guru ternyata, di hari libur ia adalah seorang tukang ojek. Orang-orang yang mau pergi ke ibukota kecamatan pasti menggunakan jasanya. Begitu juga sebaliknya.  Sepeda motor semakin mendekat, kuhentikan mengayuh sepedaku yang dari tadi hanya berputar di tempat karena salah satu roda penyangganya ternyata tidak ikut berputar. Gerakannya jadi seperti motor bebek yang sedang dikunci setangnya. 

Sesosok cantik berkacamata turun dari sepeda motor tersebut, nampak sekali bahwa ia telah menempuh perjalanan  jauh. Keringat mengalir di keningnya karena terik. Maklum, ini masih musim kemarau. Kemarau di kampungku adalah miniatur neraka. Panasnya bukan main. Hanya anak kecil sepertiku yang nekat bermain di tengah terik seperti ini. Dikeluarkannya secarik kertas dari sakunya. Kemarin kutanyakan kepada ibuku nama kertas itu dan ternyata kertas itu bernama tisu. Dilapnya keringat yang menggenangi keningnya. Gerakannya perlahan, benar benar berkelas gaya menyapunya. Aku senang melihatnya. 

Tak lama, sebuah sepeda motor kembali menyusul.”Siapa itu?,”. pikirku. Sepeda Motor berhenti di tempat yang sama. Sesosok gadis mungil turun dari motor tersebut, cantik, cantik sekali. Kulitnya putihnya, dan senyumnya manis, manis sekali. Senyum yang tidak ada bandingannya sebelum nanti ketika kelas sembilan MTs aku mengenal Shafa. Aku tahu bahwa ia sedang lelah, namun wajah lelahnya tetap cantik, cantik sekali. Percayalah padaku sobat, bukankah kau yakin bahwa anak kecil seusiaku saat itu tidak mungkin berbohong.

“Eh, mimin!! Main sendiri?,”. sapa bu bidan, orang yang pertama turun dari sepeda motor tadi. Tak lupa ia melampirkan senyum dalam sapanya. 

“Aok buk,!” aku tersenyum. Mataku masih memandang gadis mungil itu. 

Gadis itu bernama yuni, kelas 5 SD di kampungnya, Pontianak, ia berlibur di kampungku sambil menemani kakanya.

“saye ni dari ponti, ngikot kakak libor ke sinik,”. Begitulah jawabnya ketika ibuku bertanya kepadanya. Aku yang mendengarnya tersenyum. Lucu, lucu sekali. Baru kali ini aku dengar bahasa seperti itu. 

“apa arti ngikot kak?,”. tanyaku polos. Yuni hanya tersenyum, indah sekali.Selama yuni di kampungku, aku rajin sekali bermain ke puskesmas. Bangun pagi langsung mandi, main ke puskesmas. Siang pulang, makan kemudian pergi lagi ke puskeasmas. Sore pulang, mandi pergi lagi ke puskesmas. Ketika hari hampir gelap barulah aku berada di rumah. Seandainya aku sudah besar dan tidak takut kegelapan, pasti aku masih akan pergi ke puskesmas dan pulang nanti larut malam.

Kak yuni bercerita kepadaku tentang lebaran di kampungnya, tentang kue-kue lebaran yang bertoples-toples di meja ketika hari raya. Tentang nikmatnya makan ketupat dengan opor ayam juga tentang serunya malam lebaran di pinggirn Kapuas di temani letupan-letupan meriam yang sahut menyahut dari seberang ke seberang.  Semua yang tak kutemukan dikampungku di hari lebaran.

Di kampungku hari lebaran tidak begitu istimewa, selesai shalat Ied, semua orang pulang ke rumah kemudian siap-siap pergi berkerja. Tidak ada yang membedakan dengan hari-hari lainnya. Tapi aku masih tetap bangga dengan lebaran di kampungku, karena ternyata ada juga kebiasaan di kampungku yang tidak ada di kampung kak yuni sana.

Pada malam lebaran, anak-anak di kampungku berkeliling kampung dari rumah ke rumah. Biasanya tuan rumah menyajikan makanan untuk mereka. Setelah di bacakan do’a, maka kue-kue yang telah disiapkan dibebaskan untuk diapakan saja. Ada yang di makan, namun sebagian besar masuk ke kantong. Kantong yang telah disiapkan sejak berangkat dari rumah.  Mendengar ceritaku ia tersenyum, senyumnya indah sekali. Senang aku memandanginya. Ketika kami tidak saling bercakap, yang aku lakukan adalah memandang wajahnya, menikmati keindahan yang tiada tara. Aku suka padanya.

Dua minggu  di kampungku, Yuni harus kembali ke pontianak. Aku menangis saat itu, ibuku memelukku erat. Aku yakin ibuku merasa aneh dengan tingkahku, menangisi seorang yang bukan keluarga dan hanya kukenal dua minggu. Kupandangi wajahnya riang, senyumnya masih merekah indah. Detik-detik perpisahan itupun datang. Sepeda motor mulai berjalan perlahan meninggalkan puskesmas. Dilambaikannya tangan kepadaku, atau entah kepada kakaknya yang berdiri di samping ibuku. 
Aku meloncat dari pelukan ibuku, berlari melintasi ialang, menerobos semak-semak. Berlari secepat angin, sayup kudengar ibu menaggil namaku. Aku yang masih empat tahun terus berlari tak peduli. satu tujuanku, aku ingin melihatnya sekali lagi, aku sedang memintas untuk memotong arah sepeda motor itu di hilir kampung.

Aku berdiri di tengah jalan, jalan tanah kuning yang telah lama dijanjikan akan diaspal. Dari jauh sepeda motor yang membawa Yuni mulai mendekat kemudian berhenti. Yuni turun, ia cium pipiku yang masih basah oleh air mata. Di peluknya aku erat sekali, kemudian tersenyum. Indah sekali.

“Adek jangan nangis ye! Kakak nak balek ke ponti, kakak nak sekolah, udah maok masok,”. Aku tak paham apa yang ia katakan, namun aku yakin ia sedang membuatku tenang. Ku sapu air mataku, ia mengeluarkan tisu dari sakunya. Itulah saat pertama kali aku memegang tisu. Sesuatu yang belum tentu pernah dipegang oleh kepada desa di kampungku aku tersenyum, disambut senyum kak yuni. Indah sekali.

Sepeda motor yang kak yuni tumpangi kembali melaju, diringi debu jalanan yang membubung tinggi. Aku tinggal sendiri, dengan senyum dan secarik tisu di genggamanku. Ibuku memegang tanganku kemudia  mengajakku pulang. Aku masih tersenyum, dalam benakku juga tergambar senyumnya, Indah sekali. 

*) Kisah nyata
*)Salah satu part dari novel yang telah 3 tahun digarap namun tidak jua selesai

3 Komendang:

Unknown BALAS MON!!! mengatakan...

cerita yang menarik...

lnjutin lagi dong.. jd penasaran ama novelnya kaya apa.. hohoho :D

Claude C Kenni BALAS MON!!! mengatakan...

Terharu...ga kalah tragis sama kisah cinta pertama gua...>_<

Mamon BALAS MON!!! mengatakan...

@Claude C Kenni #nyodorin tissue